Langsung ke konten utama

Kepemilikan Properti Oleh WNA Akibat Perkawinan Campuran


Hasil gambar untuk Property and law

Kepemilikan Properti Oleh WNA Akibat Perkawinan Campuran
Oleh:

Mareti Waruwu, S.H.
Pengantar

Kepemilikan berasal dari kata “milik” yang artinya adalah kepunyaan atau hak. Kepunyaan sering kali dikaitkan dengan kepentingan manusia secara individu yang kemudian diwujud-kan dengan kepunyaan pribadi atau milik pribadi. Secara harafiah, milik pribadi adalah barang yang dimiliki oleh seseorang dan sepenuhnya dapat dipindahtangankan oleh pemiliknya. Oleh karena itu, milik pribadi dapat disimpulkan sebagai absolut recht sebab mempunyai hak sepenuhnya dalam suatu benda atau barang tersebut.
Milik pribadi seperti dimaksud di muka, dapat berupa benda tidak bergerak (Pasal 506, 507, 508 BW) dan benda bergerak (Pasal 509, 510, 511 BW). Pertama, benda tidak bergerak. Menurut sifatnya, benda tidak bergerak ini terbagi tiga yakni (a) tanah, (b) segala sesuatu yang bersatu dengan tanah karena tumbuh dan berakar serta bercabang misalnya tumbuh-tumbuhan, buah-buahan yang masih bisa dipetik, dan (c) segala sesuatu yang bersatu dengan tanah karena didirikan di atas tanah itu yaitu karena tertanam dan terpaku. Berdasarkan pada ketiga sifat benda tidak bergerak tersebut, melihat tujuan pemakaiannya supaya bersatu dan dapat digolongkan sebagai benda tidak bergerak seperti Pabrik, Perkebunan, Rumah Kediaman, dan Barang-barang reruntuhan dari sesuatu bangunan apabila dimaksudkan untuk dipakai guna mendirikan lagi bangunan itu.
Kedua, benda bergerak yang terdiri dari 2 (dua) golongan yakni benda yang menurut sifatnya bergerak dalam arti benda itu dapat berpindah atau dipindahkan dari tempat satu ke tempat lain (misalnya sepeda, kursi, meja, buku, dan sebagainya), dan benda yang menurut penetapan undang-undang sebagai benda bergerak ialah segala hak atas benda-benda bergerak (misalnya hak memetik hasil dan hak memakai, hak menuntut dimuka hakim supaya uang tunai atau benda-benda bergerak diserahkan kepada penggugat, surat-surat berharga lainnya, kapal-kapal dan perahu-perahu dimana segala sesuatu yang dipasang pada perahu tersebut adalah benda bergerak).
Berkaitan dengan uraian di atas, properti pula diartikan sebagai harta berupa tanah dan bangunan serta sarana dan prasarana yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tanah dan/atau bangunan yang dimaksudkan (misalnya tanah milik dan bangunan). Dengan demikian, berdasarkan pada pengertiannya maka kepemilikan properti merupakan kategori benda tidak bergerak, dan setiap orang dapat memilikinya. Adapun dasar hukum mengenai hak milik properti ini adalah Pasal 28H ayat (4) UUD NRI 1945 yang menegaskan bahwa “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun”.
Secara hukum perdata, hak milik diberi istilah hak eigendom, dan diartikan sebagai hak untuk menikmati kegunaan sesuatu benda dengan sepenuhnya dan untuk berbuat sebebas-bebasnya terhadap benda itu (Pasal 570 BW), asal tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berwenang menetapkannya, dan tidak menimbulkan gangguan terhadap hak-hak orang lain, dengan tidak mengurangi kepentingan umum berdasarkan atas ketentuan undang-undang dengan pembayaran ganti kerugian. Pada pokoknya, bahwa menurut Pasal 570 BW, hak milik merupakan hak kebendaan yang paling sempurna dibandingkan dengan hak-hak kebendaan lainnya.
Menurut Harold F. Lusk sebagaimana dikutip oleh Djuhaendah Hasan, memberikan batas-an tentang hak milik (ownership) sebagai “the exclusive right to possess, enjoy and disposes of objects or right having economic value”. Artinya, hak milik merupakan hak eksklusif untuk menguasai, menikmati dan mengatur suatu objek atau hak-hak yang mempunyai nilai ekonomi. Istilah hak milik mengandung arti bahwa benda yang dikuasai dengan hak milik dapat diturunkan kepada ahli waris, dapat dialihkan kepada orang lain atau diperjualbelikan.
Hak milik atau kepemilikan dapat timbul sebelum dan/atau setelah perkawinan dilang-sungkan. Pengertian perkawinan menurut Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa “perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Selanjutnya, Pasal 6 UU a quo, menegaskan bahwa “perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai”. Artinya bahwa perkawinan akan dapat dialngsungkan bilamana kedua calon mempelai sepakat untuk membuat suatu persetujuan melakukan perkawinan. Persetujuan perkawinan tersebut dapat saja terjadi antara manusia dengan dua warga negara yang berbeda atau satu warga negara.
Seperti halnya perkawinan campuran yang merupakan suatu perkawinan yang terjadi antara individu dari kelompok etnis yang berbeda (misalnya perkawinan antara Warga Negara Asing dengan Warga Negara Indonesia). Alasan yang mungkin dapat terjadi adanya perkawinan campuran antara lain, seseorang mungkin melakukan perkawinan campuran dengan alasan idealisme (agama dan kepercayaan, dan lain-lain), seseorang bersifat kosmopolitan atau memilih teman secara personal bukan alasan budaya, seseorang mela-kukan perkawinan campuran untuk menentang otoritas orang tua baik secara sadar maupun tidak sadar, atau seseorang dapat melakukan perkawinan campuran karena tertarik secara psikoseksual. Patut dipahami bahwa perkawinan campuran harus didaftarkan pada pengadilan negeri setempat bilamana perkawinan tersebut dilangsungkan di luar negara Indonesia untuk memperoleh penetapan (beschikkings) terkait telah terjadinya perkawinan campuran.

Pembahasan

Berkaitan dengan pemaparan di atas, maka yang menjadi pokok pertanyaan adalah apakah Warna Negara Asing (WNA) yang telah melangsungkan perkawinan dengan Warga Negara Indonesia mempunyai hak kepemelikan properti di Indonesia ? Apa dasar hukumnya ?
Secara umum, maka perkawinan yang telah dilangsungkan tersebut adalah perkawinan campuran, sebab salah satu diantara para pihak adalah berwarga negara asing. Mengenai halnya kepemilikan properti akibat perkawinan campuran ini, dapat timbul haknya hanya saja tidak atas nama dari suami atau isteri yang berwarga negara asing. Adapun dasar hukum sebagai landasan argumentasi tersebut adalah Pasal 28 ayat (4) UUD NRI 1945. Patut dipahami bahwa secara umum UUD NRI 1945, hanya berlaku bagi setiap Warga Negara Indonesia saja, tetapi tidak berlaku bagi WNA melainkan sebagai WNA harus tunduk dan patuh terhadap hukum yang berlaku di Indonesia. Artinya bahwa ketika UUD NRI 1945 tidak memberikan hak kepemilikan bagi WNA selain WNI, maka mereka tidak boleh memiliki hak milik di Indonesia sepanjang tidak diatur dalam UUD NRI 1945. Berbeda halnya ketika salah satu yang berstatus sebagai WNA tersebut menjadi investor dalam suatu usaha atau investasi, maka hal tersebut telah diakui dalam UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 angka 3 yang menyebutkan bahwa “Penanaman modal asing adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri”. Modal asing yang dimaksud kemudian diterangkan dalam Pasal 1 angka 8 UU a quo, yang menyatakan bahwa “Modal asing adalah modal yang dimiliki oleh Negara Asing, perseorangan Warga Negara Asing, dan/atau badan hukum Indonesia yang sebagian atau seluruh modalnya dimiliki oleh pihak asing”.
Secara spesifik, Hak yang dapat digunakan oleh orang asing di Indonesia terkait adanya perkawinan campuran dapat ditemukan dalam PP Nomor 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia. Pasal 1 angka 1 PP a quo, menegaskan bahwa orang asing adalah orang yang bukan Warga Negara Indonesia yang keberadaannya memberikan manfaat, melakukan usaha, bekerja, atau berinvestasi di Indonesia. Namun terdapat hal yang menarik dalam Pasal 2 PP a quo, menegaskan bahwa :
1)        Orang asing dapat memiliki rumah untuk tempat tinggal atau hunian dengan Hak Pakai;
2)       Orang asing yang dapat memiliki rumah tempat tinggal atau hunian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah orang asing pemegang izin tinggal di Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan;
3)        Dalam hal orang asing meninggal dunia, rumah tempat tinggal atau hunian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diwariskan;
4)       Dalam hal ahli waris sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan orang asing, ahli waris harus mempunyai izin tinggal di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian, maka penulis menyimpulkan bahwa kepemilikan properti oleh WNA akibat perkawinan campuran dapat timbul dengan status Hak Pakai yang dapat diwariskan. Artinya bahwa Hak Pakai tersebut sederajat halnya dengan Hak Milik sebagai WNI, karena dapat diwariskan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.


Daftar Pustaka
Aceng Asnawi Rohani, et.all, Pengantar Hukum Perdata : Materi dan Perkembangannya, Alumni, Bandung, 2011.
P. Hariyono, Kultur Cina dan Jawa, Sinar Harapan, Jakarta, 1993.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing.
Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KRIMINOLOGI

PENGANTAR Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kejahatan dan penjahat ( crime and criminal ), serta tidak terlepas dari  studi tentang bagaimana reaksi masyarakat terhadap keduanya. [1] Walaupun hingga saat ini ruang lingkup dan batasan kriminologi masih menuai perbedaan pendapat di antara para ahli. Berawal dari teori Plautus dan Thomas Hobbes yang mengatakan bahwa manusia adalah serigala bagi sesama manusia ( homo homini lupus ), maka perlu dibuat serangkaian norma untuk mengatur perilaku manusia dalam bermasyarakat, hal ini dimaksudkan sebagai upaya proteksi dari serangan manusia lainnya, agar manusia dapat hidup dan memenuhi kebutuhan hidupnya secara berdampingan tanpa harus selalu saling menyakiti. Dalam hal ini, jelas bahwa tujuan dari dibentuknya norma adalah untuk ditaati. Di sisi lain, untuk menjamin dan mendukung tegaknya norma dalam masyarakat diperlukan sanksi agar manusia dapat menekan kehendak bebasnya ketika berbuat sesuatu dengan me...

Urgensi Pancasila Sebagai Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia

Pancasila dan NKRI Urgensi Pancasila Sebagai Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia [1] Oleh:   Mareti Waruwu [2] A.      Pendahuluan Pancasila mesti diterima dengan akal sehat sebagai warisan berharga bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila memiliki dimensi multi fungsi, sebagai sumber ideologi, sebagai pemersatu, sebagai rujukan hukum, dasar negara, dan lain sebagainya. Suatu keberuntungan sejarah, sebab negeri ini dikaruniai kesadaran bersama akan warisan ideologi dalam menjaga, dan mempertahankan kebersamaan sebagai sebuah bangsa berdaulat. Merajut gagasan dalam mengkonstruksikan sebuah realitas kebhinne-kaan di bumi Indonesia merupakan sebuah mahakarya. Sebab kristalisasi beragam nilai, norma dan kepercayaan, melalui sebuah intellectual exersices yang lama, mendalam dan relevan oleh Soekarno dan para pemikir bangsa, maka lahirlah Pancasila, yang didalamnya terhimpun segala unsur, baik yang bersifat transendental [3] , imanensi...

HUKUMAN BERSYARAT

Law and Justice Teori Hukuman Bersyarat Atau Hukuman Dengan Perjanjian ( Voorwaardelijke veroordeling ) Hukuman bersyarat ( voorwaardelijke veroordeling ) atau biasa disebut juga hukuman dengan perjanjian, dapat dijelaskan dalam dua fase sebagai berikut: Fase Pertama,     Terpidana dinyatakan bersalah lalu ditetapkan suatu masa percobaan .                       Pada prinsipnya orang tersebut telah dipidana, akan tetapi hukuman itu tidak usah dijalankan terlebih dahulu, maksudnya adalah untuk memberikan kesempatan kepada terpidana supaya dalam masa percobaan itu ia memperbaiki kelakuaannya dan tidak berbuat suatu peristiwa pidana lagi atau melanggar perjanjian yang diadakan oleh hakim kepadanya dengan harapan jika berhasil, maka hukuman yang telah dijatuhkan kepadanya tidak akan dijalankan untuk selama-lamanya. Fase Kedua,       Hukuman...