Pancasila dan NKRI |
Urgensi Pancasila Sebagai Ideologi Negara Kesatuan Republik
Indonesia[1]
Oleh: Mareti Waruwu[2]
A. Pendahuluan
Pancasila mesti diterima dengan akal sehat
sebagai warisan berharga bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila memiliki
dimensi multi fungsi, sebagai sumber ideologi, sebagai pemersatu, sebagai
rujukan hukum, dasar negara, dan lain sebagainya. Suatu keberuntungan sejarah,
sebab negeri ini dikaruniai kesadaran bersama akan warisan ideologi dalam
menjaga, dan mempertahankan kebersamaan sebagai sebuah bangsa berdaulat.
Merajut gagasan dalam mengkonstruksikan
sebuah realitas kebhinne-kaan di bumi Indonesia merupakan sebuah mahakarya.
Sebab kristalisasi beragam nilai, norma dan kepercayaan, melalui sebuah intellectual exersices yang lama,
mendalam dan relevan oleh Soekarno dan para pemikir bangsa, maka lahirlah
Pancasila, yang didalamnya terhimpun segala unsur, baik yang bersifat
transendental[3],
imanensial[4] dan
fungsional.
Pancasila tidak lahir
sesaat atau jatuh dari langit yang tinggi, tetapi Pancasila lahir melalui
proses internalisasi (penghayatan) dari nilai-nilai masyarakat yang plural.
Internalisasi nilai-nilai yang terpendam juga berhadap-hadapan dengan berbagai
ideologi lain, yang menjadi pilihan-pilihan para penggagas Pancasila. Oleh
sebab itu, kontens, struktur, makna, pemahaman, akseptasi, refutasi dari
masyarakat Indonesia pada masa pra kemerdekaan, semua dimensi dan faktor itu
dipertimbangkan juga secara esensial. Disparitas agama, etnis dan ras menjadi
ujian berat untuk mengede-pankan gagasan-gagasan yang mesti diterima oleh
seluruh warga masyarakat Indonesia. Salah satu gesekan internal adalah
menyatukan gagasan-gagasan awal yang masih cair, mencari benang merah sebagai
pengikat perbedaan dari para penggagas ideologi Pancasila
itu.
B. Pembahasan
1.
Etnisitas Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
Pentingnya studi dan pemahaman mengenai
nasioalisme khusus-nya di Indonesia, termasuk didalamnya issue tentang kelompok etnis (juga termasuk nasionalisme), berhubungan
erat dengan landasan konstitusio-nal, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2008
tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Pasal 1 ayat (1) UU Penghapusan
Diskriminasi Ras dan Etnis dengan tegas menyebutkan bahwa diskriminasi ras dan
etnis adalah segala bentuk pembedaan, pengecualian, pembatasan atau pemilihan
berdasarkan pada ras dan etnis, yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan
pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar
dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Proses integrasi berbagai kelompok etnis
ke dalam sebuah negara bangsa, seperti Indonesia dengan 600-an kelompok etnisnya
maka terciptalah suatu nuansa dan presepsi yang kaya tentang isu etnis, dengan
seluruh unsurnya yang bermakna bagi para penentu kebijakan di satu negara, yang
penduduknya terdiri dari berbagai suku bangsa. Menurut Eriksen, menegaskan bahwa etnisitas adalah kelompok etnis yang
mengaku bahwa mereka adalah bagian dari kelompok itu, klaim kelompok akan
identitas yang diterima oleh warga kelompok yang sama.[5] Pada
sisi lain, Barth menolak argumen
bahwa kelompok etnis hanya terfokus pada karakteris-tik kultural semata dari
warga semua warga sebuah kelompok.[6]
Kendatipun hidup dalam sebuah wilayah dalam NKRI, tetapi tendensi membangun
sekat-sekat untuk membatasi diri dengan kelompok berbeda, masih juga terjadi
sehingga terciptanya kelompok etnis eksklusif.
Sejarah menyebutkan bahwa setiap
kelompok etnis di Indonesia (terutama setelah era reformasi dan
diperkenalkannya kebijakan otonomi daerah) tanpa disadari terus mengkristal,
dan menjadi rancu untuk kesatuan daerah atau persatuan Indonesia. Peristiwa eks
Provinsi Timor Timur yang memisahkan diri dari NKRI, juga layak diletakkan
dalam satu bingkai analisis (untuk memahami bahwa lepasnya eks Provinsi Timor
Timur, tidak lepas dari aspek etnis, yang selalu ditebar oleh pihak yang anti
integrasi bahwa “orang Timor Leste berbeda dan bukanlah orang Indonesia”).
Adagium ini sudah jelas menarik garis batas bernuansa etnis, yang kemudian
dikaitkan dengan berbagai faktor yang membutuhkan pembuktian seperti halnya
kebijakan diskriminatif di sektor birokrasi, publik dan militer, dan masih ada
unsur-unsur lain yang tidak berdiri sendiri tetapi selalu dihubungkan dengan
isu etnisitas.
Banyak kelompok etnis di Indonesia pun
menjadi potensi sekaligus ancaman bagi Perstauan Indonesia. Sejak abad ke-18,
negara-negara modern serta merta mencari legitimasi dan klaim-klaim politik
bahwa mereka merupakan representasi absah dari negara-negara suku. Prof. John Haba pernah mengatakan bahwa
para anggota dari kelompok yang sudah tereklusi, kemudian menghadapi dilema,
apakah mereka akan menuntut hak sebagai kelompok inklusif agar diperlakukan
setara, atau mengupayakan otonomi (seperti Papua), dan berikhtiar memisahkan
diri dari negara bangsa. Kendatipun isunya masih dilematis dan memer-lukan
pembuktian, tetapi asumsi-asumsi mengenai ketimpangan relasi antara kelompok
etnis di Indonesia, menjadi momok politik bagi kelompok minoritas seperti
halnya Agama, Etnik dan Ras.
Perlakuan anarkis dan rasis terhadap
kelompok etnis Cina pada bulan Mei 1998, bahwa ada warga negara kelas dua dan
warga negara keals satu di Indonesia. Perilaku diskriminatif terhadap kelompok
minoritas dan bersifat protektif terhadap kelompok mayoritas barangkali dapat
juga diuji dalam berbagai kasus di Indonesia, mana peristiwa-peristiwa
kekerasan sistemik itu menjadi ancaman berkelanjutan untuk Persatuan Indonesia,
yang dikonstruksikan dari ratusan kelompok etnis. Sesungguhnya, para pengelola
negara di Indonesia perlu menyadari dan mengakui, sebagaimana gagasan yang
pernah dikemukakan oleh pakar politik Jerman, Johan Gottfried von Herder bahwa masyarakat yang terpusat pada
ikatan kesukuan dengan eksklusi sejarah atau konteks ksejarahannya tanpa
disadari telah ikut mengembangkan nasionalisme.[7]
Upaya unifikasi (penggabungan) suku-suku
bangsa di nusantara[8]
yang dipikirkan olh Soekarno dan para pendiri bangsa bukan tanpa resiko. Pada
abad ke-20, sejumlah kelompok etnik di Indonesia mulai mempersoalkan mengenai
“siapakah mereka”, terutama tatkala ttjadi pergolakan bernuansa agama dan
etnis, yang tidak pernah terselesaikan secara tuntas di negeri ini. Jurgen Hebermas meyakini bahwa masalah
legitimasi dari sebuah negara modern harus dialaskan pada konsep hak-hak
politik dari warga negara yang otonom.[9] Hebermas
lebih menyukai gagasan yang membuka ruang bagi warga negara untuk secara otonom
mengekspresikan dirinya, melalui kebebasan mengemukakan pendapat, dan
memperoleh jaminan akan hak-haknya sebagai warga negara sebuah bangsa modern
seperti Indonesia.
Pengakuan akan hak-hak dasar warga
negara bukan saja menjadi keunikan Pancasila, dan salah satu silanya adalah
Persatuan Indonesia, tetapi nuansa dan logika persatuan, juga sudah diramu
melalui sebuah proses internalisasi nilai-nilai global dimana negara harus
mengakui secara khusus identitas setiap kelompok etnis, nasional dan ras serta
mendorong dan memperjuangkan dengan sungguh-sungguh kesetaraan hukum dan
politik untuk semua warga negara. Konsep berpikir seperti Hebermas itu sejalan
dengan Will Kymlicka, yang
menekankan bahwa diskursus tentang kebebasan (otonomi) individu bersumber pada
konstruksi kultural. Artinya, sebuah negara seperti Indonesia yang dibangun
dari berbagai kelompok etnis yang kaya akan agama, kepercay-aan, budaya, dan
lain sebagainya, mesti mengakui identitas etnis, meme-lihara keberagaman
sehingga, kebutuhan-kebutuhan anggota etnis yang berbeda dapat diakomodasi.
Perspektif
kebersamaan yang saling menghormati pernah dikemu-kakan oleh Sosrodiningrat
melalui BPUK[10]
yang menegaskan pentingnya persatuan dari yang majemuk, untuk Indonesia merdeka
di kemudian hari kelak. “Berani merdeka berarti berani mempertahankan
Indonesia, dan ini berarti berani berperang. Buat ini perlu persatuan sekokoh-kokoh-nya.
Persatuan berarti bebas dari rasa perselisihan antara golongan, menyingkirkan
diri, dan golongan sendiri, hanya dapat dicapai dengan korban”.[11]Pendekatan
konseptual yang dapat membantu untuk memahami mengenai etnisitas atau dengan
istilah kesukubangsaan ialah pendekatan konstruktivisme.[12]
Pendekatan ini meminjam konsep-konsep yang telah dikembangkan oleh pendekatan
naturalis dan struktural fungsionalis.
2.
Kemajemukan Etnis di Indonesia
Konsep Bhinneka Tunggal Ika[13] yang
artinya berbeda-beda tetapi satu jua, berasal dari bahasa Jawa Kuno, mesti
dirangkai lagi dengan sejarah silam kerajaan-kerajaan Hindu sebelumnya. Disini
diperlukan kesadaran sejarah, untuk membangun sentimen bersama semua warga
negara Indonesia, akan warisan budaya dan warisan sejarah yang telah
meninggalkan pesan berharga, ketika Raja
Sailendra, pada abad ke-18 dan abad ke-19 membangun Candi Borobudur melalui
semangat kebersa-maan atau kesatuan dan persatuan saat itu. Teladan dan
semangat meng-hargai perbedaan, dan terus membangun kebersamaan juga
dipraktikan oleh Raja Erlangga
ketika ia membangun kerajaannya di lembah Brantas, Jawa Timur.[14]
Memahami kesatuan dalam keberagaman itu,
dalam hubungan-nya dengan pengertian dan sejarah “Bhinneka Tunggal Ika”, Cultural Survival memuat sebuah
pandangan yang sudah banyak ditulis dalam buku-buku dan uraian-uraian berharga
lainnya, dengan menegaskan kembali mengenai “Bhinneka Tunggal Ika” ini, yakni “Unity in diversity (Bhinneka Tunggal
Ika) was proclaimed the national motto of
newly independent Indonesia when it served the bond of Dutch colonial rule at
the end of World War II. The motto drawn from Sanskrit and attributed to rulers
of the Majapahit Empire (a Javanese polity of the 14th century), evokes ancient
ties between Javanese ang other powerful Asian Kingdoms”.[15] Secara
sederhana dapat diartikan bahwa “Bhinneka Tungga Ika diproklamirkan sebagai pandangan
hidupbangsa Indonesia yang saat ini baru merdeka dari ikatan penjajahan Belanda
pada akhir Perang Dunia II. Semboyan yang diambil dari bahasa Sanskerta dan
dikaitkan dengan penguasa Kekaisaran Majapahit (sebuah pemerintahan Jawa abad
ke-14), membangkitkan ikatan kuno antara orang-orang jawa dengan
Kerajaan-kerajaan Asia lainnya yang berkuasa”.
Para tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia
seperti Soerkarno, M. Hatta, M. Yamin, dkk; pada masa kemerdekaan belajar
banyak dari bangsa-bangsa lain, bahwa sebuah himpunan etnis yang kemudian
mena-namkan dirinya sebagai sebuah bangsa akan tercabik, kalau ada sebuah atau
lebih kelompok etnis terlau mendominasi/menonjolkan (supremasi) terhadap
kelompok etnis lainnya. Persatuan Indonesia selalu dan terus inheren dan
identitas berbeda yang dipersatukan melalui nasionalisme (nation state or nationhood). Nilai dan semangat persatuan ini
berada di atas semua kelompok etnis, sehingga kesadaran dan semangat persatuan
untuk tetap menjunjung tinggi kebersamaan mesti dipertahankan dalam NKRI.
Idealnya bahwa
Persatuan Indonesia tidak dimaksudkan untuk melebur seluruh kelompok etnis
menjadi hanya satu etnis Indonesia, kendatipun dalam sejarah perjalanan
Indonesia, tendensi untuk memak-sakan kesatuan (peleburan) itu terjadi. Harus
ada semangat membangun dan menghargai perbedaan dan kesamaan, dan terus
menghidupkan solidaritas lintas etnis, agama dan ras. Karena pentingnya isu
Persatuan Indonesia, maka dalam pidato Presiden Soekarno tanggal 17 Agustus
1945, ia kembali mengingatkan mengenai nilai kemajemukan Indonesia itu. Oleh
Soekarno menyerukan “Ingat, kita ini bukan dari satu adat
istiadat. Ingat kita ini bukan dari satu agama. Bhinnek Tunggal Ika, berbeda
tapi satu, demikianlah tertulis dalam lambang negara kita, dan tekanan kataku
sekarang ini kuletakkan kepada kita bhinna yaitu berbeda-berbeda-beda. Ingat
kata ini bhinna, kita ini berbeda-beda”.[16]
3.
Konsep Mengenai Pluralitas
Kemajemukan atau pluralitas adalah
sebuah gagasan yang diper-gunakan untuk menjelaskan mengenai keberagaman agama,
etnisitas, kebudayaan, pikiran, pandangan dunia (worldview), peran setiap individu dan masyarakat. Konseptualisasi
mengenai kemajemukan tidak saja ditemukan pada tataran lokal, nasional dan
regional, tetapi juga pada tataran global, dengan segala keberagaman budaya,
agama, ideologi, dan kesukubangsaan. Oleh sebab itu, timbul penolakan terhadap pola
pikir monolitik, yang menghadirkan dikotomi dalam sebuah negara bangsa (nation state), yang bangunan
kewarganegaraan penduduknya bersifat majemuk. Berpikir monolitik atau kadang
kala absolutis analog dengan cara berpikir yang tidak sama dengan kenyataan
yang pada dirinya adalah prosedural. Dasar penolakan terhadap konsep-konsep
monolitik adalah bahwa mereka tidak dapat dipercayai, karena mengabaikan
kebhinnekaan kultural dan keyakinan serta praktik moral.
Wawasan monolitik dengan sendirinya
membuat kategorisasi sistematik mengenai perbedaan yang didekati dan dipahami
sebagai bert-entangan dengan realitas kata “aku”, sehingga terkonstruksinya
ruang-ruang “kita”, “kami”, “mereka”, dan seterusnya. Reaitas biologis, fisik,
dan ideologis dalam pemahaman monolitik adalah menguatkan sekat-sekat perbedaan,
mengeliminasi hak-hak asasi sesama, dan memarjinal-kan peran kelompok
minoritas, dan konstruksi sebuah bangunan masya-rakat heterogen atau majemuk.
Sikap menolak “the other” sama dengan
perilaku menafikkan nuansa demokratis dalam masyarakat terbuka dan modern.
Sikap dominasi, hegemoni dan diskriminasi akan mereduksi hak-hak warga negara,
dan nilai dasar dari setiap sila dalam Pancasila, prinsip demokrasi dan Hak-hak
Azasi Manusia dari setiap warga negara.
Untuk mencegah
terjadi keretakan di antara ratusan kelompok etnis yang memiliki kekayaan
sistem nilai, budaya, pengetahuan lokal, kepercayaan, agama dan budaya, maka
Indonesia tepat dinamakan sebagai negeri multi etnis. Masih bertahannya
Indonesia sebagai sebuah negara kesatuan, realitas sosial dan politik itu
dimungkinkan oleh adanya kesadaran sejarah bersama, sebagai sebuah keluarga
besar bangsa, yang diikat oleh semangat persatuan dan kesatuan, sebagaimana
diamanatkan dalam sila “Persatuan Indonesia”. Kebijakan bernuansa “mayoritas atau kelompok dominan” versus
“minoritas atau termarjinalisasi”,
dengan sistemik dan berlangsung lama, dan turut menyuburkan segregasi sosial
berkelan-jutan, akan menjadi elemen penyebab konflik antar kelompok etnik dan
agama.
C. Penutup
Tipologi masyarakat majemuk seperti
Indonesia dengan ratusan kelompok etnis, tidak akan pernah aman dari ancaman
disintegrasi bangsa. Faktor agama pun menjadi unsur sensitif yang dapat membawa
konflik. Terancamnya NKRI salah satu faktornya adalah kebijakan negara yang
membiarkan kelompok-kelompok pengacau melakukan terobosan politik bernuansa
agama di segala ruang kehidupan bernegara, bermasyarakat dan berbangsa yang
sungguh ingkar terhadap kebhinnekaan bangsa Indonesia yang majemuk.
Persatuan Indonesia sejatinya memiliki multi
dimensi, tidak saja penyatuan ratusan kelompok etnik dalam NKRI, tetapi
penyatuan gagasan dan kesediaan untuk mengelola perbedaan yang tidak mungkin
disamakan oleh paksaan politik seperti yang berlangsung pada era pemerintahan
orde baru. Politik melemahkan eksistensi dan peran setiap kelompok etnik dengan
cerdiknya diperankan oleh rezim penguas Soeharto, dengan menyuburkan gagasan
minoritas dan mayoritas. Lemahnya Persatuan Indonesia juga disebabkan oleh
tidak meratanya pemahaman yang utuh akan setiap sila dalam Pancasila, yang
berdampak pada perlakuan terhadap warga negara Indonesia lainnya (minoritas
agama, etnik, ras dan golongan), bukan sebagai warga negara dalam status yang
sama, tetapi sebagai warga negara kelas dua.
Suatu nilai terdalam dalam menghayati dan
menjamin kemajemukan tetap diakui, dihargai, dan ditata bersama terbenam dalam
kandungan nilai budaya dan agama yang erat dan tidak selau dapat dipisahkan.
Upaya serius para pendiri bangsa untuk merawat kemajemukan melalui hidup
bersama, memerlukan beberapa prasyarat yang sering dilupakan oleh para penentu
kebijakan di negeri ini, mulai dari tingkat pusat sampai ke daerah-daerah.
Ancaman terhadap keutuhan NKRI sangat mungkin terjadi sebab, ketidak-berdayaan
pemerintah dalam menjamin hak-hak dasar masyarakat seperti halnya beribadah,
memperoleh pendidikan yang wajar, menyalurkan pendapat, dan lain sebagainya,
mana hal tersebut merupakan amanat Pembukaan UUD NRI 1945. Masa depan
masyarakat Indonesia yang majemuk dan amanah Persatuan Indonesia dari seluruh
elemen masyarakat berada di tangan ujian sejarah, dan membuktikan tanggung
jawab bersama untuk menjaga ketentraman dan ketertiban sosial masyarakat
Indonesia. Oleh sebab itu, nilai terdalam dari Persatuan Indonesia ialah pemerintah
dan masyarakat, kelolalah perbedaan agama, etnik, budaya, ras dan golongan
dengan bertanggungjawab.
[1] Tema disampaikan pada
Kegiatan Kajian Rutin Forum Group Discussion Rumah Diskusi Tangerang di Aula
Rektorat Universitas Pamulang. Rabu, 2 Agustus 2017.
[2] Ketua Dewan Pimpinan Cabang
Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Tahun 2016-2018, Ketua Delegasi Fakultas
Hukum Universitas Pamulang pada kegiatan Constitution Moot Court Competition
Piala Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Tahun 2016, Alumni Cambridge
School of English Tahun 2016, Perwakilan Bhakti Pemuda Antar Provinsi (BPAP)
Tingkat Kota Tangerang Selatan Tahun 2015.
[3] Transendental secara harafiah
dapat diartikan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan transenden atau sesuatu
yang melampaui pemahaman terhadap pengalaman biasa dan penjelasan ilmiah.
Hal-hal yang transenden biasanya bertentangan dengan dunia material.
[4] Imanensial atau Imanen
(imanensi) adalah paham yang menekankan berpikir dengan diri sendiri atau
subjektif. Istilah imanensi berasal dari Bahasa Latin “immanere” yang berarti “tinggal di dalam”. Imanen adalah lawan kata
dari transenden.
[5] Sekretariat Jenderal Dewan
Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Jurnal Bhinneka Tunggal Ika Volume 3 No.
2 Tahun 2012, Jakarta, 2012, hal. 97.
[6] Ibid.
[7] Ibid, hal. 98.
[8] Timbulnya gagasan mengenai
negara Nusantara yang berkembang menjadi Wawasan Nusantara, berdasarkan
Deklarasi 13 Desember 1957. Berkaitan dengan integritas wilayah Indonesia, menurut
Prof. Mochtar Koesoemaatmadja bahwa wilayah negara Indonesia sebagai satu
kesatuan yang bulat yang meliputi unsur tanah (darat) dan air (laut).
[9] Otonomisasi yang dimaksud-kan
oleh Hebermas tidak dalam kaitan otonomi teritorial atau spesial yang sering
dikumandangkan di Indonesia setiap kali terjadi konflik antar pemerintah dan
kelompok etnis (misalnya, Organisasi Papua Merdeka).
[10] BPUK adalah singkatan dari
Badan Persiapan Usaha Kemerdekaan.
[11] Suatu kesadaran sejarah yang
utuh dari realitas dari kemajemukan bangsa Indonesia, yang terdiri dari
beberapa latar belakang agama, suku atau etnis, ras dan golongan, sekaligus
peringatan untuk menghargai kontribusi semua kelompok tanpa kecuali dalam
negara Indonesia merdeka.
[12] Teori konstruktivisme didefinisikan
sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan menciptakan
sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Konstruktivisme sebenar-nya bukan
merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini
merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Menurut Prof. John
Haba, bahwa pandangan konstruktivisme ini lebih jelas dikaitkan dengan isu-isu
etnisitas, ras dan kultural, dan terfokus pada cara bagaimana
identitas-identitas etnis dan batas-batasnya berubah secara historis. Atau
dengan kata lain, sebuah upaya kelompok dominan (mayoritas) untuk
mengintimidasi kelompok lain (minoritas). Atau, bagaimana kelompok-kelompok
etnis itu sendiri mempresentasi corak berpikir mereka tentang kelompok mereka
identitas (historitas) sendiri. Apabila pandangan konstruktivisme diangkat, dan
dipergunakan untuk memahami kondisi dan realitas etnis di Indonesia yang sangat
berbeda (kebhinnekaan), maka akan ditemukan wawasan-wawasan berikut:
1. Sisi positif, yakni hak dan
eksistensi setiap kelompok etnis yang hidup dan tinggal di Indonesia dapat
mengkonstruksikan diri atau “siapakah mereka” itu;
2. Sisi negatif, yakni
mengkonstruksikan diri dan identitas etnis dalam sebuah bangunan negara bangsa
yang majemuk, tanpa diikat oleh sebuah bingkai nasionalisme yang kokoh, maka
yang akan lebih menonjol adalah dimensi “Ika”
nya daripada “Kebhin-nekaan” nya.
[13] Kata “Bhinneka Tunggal Ika”
ini diambil dari karya Mpu Tantular “Sutasoma” dari Kerajaan Majapahit pada
abad ke-14. Kutipan lengkap karya ternama Mpu Tantular itu adalah sebagai
berikut, “Rwaneka dhatu winuwus Budha
Wiswa. Bhinneki rakwa ring apan kena parwanosen. Mangkang Jinatwa kalawn
Siwatatwa tunggal. Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa”. Artinya
adalah “Konon Budha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda. Mereka memang
berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenal ?. Sebab kebenaran Jina (Budha) dan
Siwa adalah tunggal. Terpecah belahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada
kerancuan dalam kebenaran”. Sumber Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Daerah
Republik Indonesia, Op.Cit.
[14] Sekretariat Jenderal Dewan
Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Loc.cit.
[15] http://www.culturalsurvival.org/publications/cultural-survival-quarter,
sumber diakses pada tanggal 1 Agustus 2017.
[16]Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Op.Cit.
Komentar
$100 free No Deposit Bonus 진주 출장샵 for 김천 출장마사지 Slots · Bonus Code: "SPORTBONUS" · Minimum 시흥 출장안마 Deposit: $10 · Must be 21 or older · Valid 의왕 출장샵 for: Slots · No Deposit Bonus: 논산 출장안마