Langsung ke konten utama

Urgensi Pancasila Sebagai Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia

Pancasila dan NKRI

Urgensi Pancasila Sebagai Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia[1]

Oleh:   Mareti Waruwu[2]

A.     Pendahuluan
Pancasila mesti diterima dengan akal sehat sebagai warisan berharga bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila memiliki dimensi multi fungsi, sebagai sumber ideologi, sebagai pemersatu, sebagai rujukan hukum, dasar negara, dan lain sebagainya. Suatu keberuntungan sejarah, sebab negeri ini dikaruniai kesadaran bersama akan warisan ideologi dalam menjaga, dan mempertahankan kebersamaan sebagai sebuah bangsa berdaulat.
Merajut gagasan dalam mengkonstruksikan sebuah realitas kebhinne-kaan di bumi Indonesia merupakan sebuah mahakarya. Sebab kristalisasi beragam nilai, norma dan kepercayaan, melalui sebuah intellectual exersices yang lama, mendalam dan relevan oleh Soekarno dan para pemikir bangsa, maka lahirlah Pancasila, yang didalamnya terhimpun segala unsur, baik yang bersifat transendental[3], imanensial[4] dan fungsional.
Pancasila tidak lahir sesaat atau jatuh dari langit yang tinggi, tetapi Pancasila lahir melalui proses internalisasi (penghayatan) dari nilai-nilai masyarakat yang plural. Internalisasi nilai-nilai yang terpendam juga berhadap-hadapan dengan berbagai ideologi lain, yang menjadi pilihan-pilihan para penggagas Pancasila. Oleh sebab itu, kontens, struktur, makna, pemahaman, akseptasi, refutasi dari masyarakat Indonesia pada masa pra kemerdekaan, semua dimensi dan faktor itu dipertimbangkan juga secara esensial. Disparitas agama, etnis dan ras menjadi ujian berat untuk mengede-pankan gagasan-gagasan yang mesti diterima oleh seluruh warga masyarakat Indonesia. Salah satu gesekan internal adalah menyatukan gagasan-gagasan awal yang masih cair, mencari benang merah sebagai pengikat perbedaan dari para penggagas ideologi Pancasila itu.
B.      Pembahasan
1.        Etnisitas Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
Pentingnya studi dan pemahaman mengenai nasioalisme khusus-nya di Indonesia, termasuk didalamnya issue tentang kelompok etnis (juga termasuk nasionalisme), berhubungan erat dengan landasan konstitusio-nal, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Pasal 1 ayat (1) UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis dengan tegas menyebutkan bahwa diskriminasi ras dan etnis adalah segala bentuk pembedaan, pengecualian, pembatasan atau pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis, yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Proses integrasi berbagai kelompok etnis ke dalam sebuah negara bangsa, seperti Indonesia dengan 600-an kelompok etnisnya maka terciptalah suatu nuansa dan presepsi yang kaya tentang isu etnis, dengan seluruh unsurnya yang bermakna bagi para penentu kebijakan di satu negara, yang penduduknya terdiri dari berbagai suku bangsa. Menurut Eriksen, menegaskan bahwa etnisitas adalah kelompok etnis yang mengaku bahwa mereka adalah bagian dari kelompok itu, klaim kelompok akan identitas yang diterima oleh warga kelompok yang sama.[5] Pada sisi lain, Barth menolak argumen bahwa kelompok etnis hanya terfokus pada karakteris-tik kultural semata dari warga semua warga sebuah kelompok.[6] Kendatipun hidup dalam sebuah wilayah dalam NKRI, tetapi tendensi membangun sekat-sekat untuk membatasi diri dengan kelompok berbeda, masih juga terjadi sehingga terciptanya kelompok etnis eksklusif.
Sejarah menyebutkan bahwa setiap kelompok etnis di Indonesia (terutama setelah era reformasi dan diperkenalkannya kebijakan otonomi daerah) tanpa disadari terus mengkristal, dan menjadi rancu untuk kesatuan daerah atau persatuan Indonesia. Peristiwa eks Provinsi Timor Timur yang memisahkan diri dari NKRI, juga layak diletakkan dalam satu bingkai analisis (untuk memahami bahwa lepasnya eks Provinsi Timor Timur, tidak lepas dari aspek etnis, yang selalu ditebar oleh pihak yang anti integrasi bahwa “orang Timor Leste berbeda dan bukanlah orang Indonesia”). Adagium ini sudah jelas menarik garis batas bernuansa etnis, yang kemudian dikaitkan dengan berbagai faktor yang membutuhkan pembuktian seperti halnya kebijakan diskriminatif di sektor birokrasi, publik dan militer, dan masih ada unsur-unsur lain yang tidak berdiri sendiri tetapi selalu dihubungkan dengan isu etnisitas.
Banyak kelompok etnis di Indonesia pun menjadi potensi sekaligus ancaman bagi Perstauan Indonesia. Sejak abad ke-18, negara-negara modern serta merta mencari legitimasi dan klaim-klaim politik bahwa mereka merupakan representasi absah dari negara-negara suku. Prof. John Haba pernah mengatakan bahwa para anggota dari kelompok yang sudah tereklusi, kemudian menghadapi dilema, apakah mereka akan menuntut hak sebagai kelompok inklusif agar diperlakukan setara, atau mengupayakan otonomi (seperti Papua), dan berikhtiar memisahkan diri dari negara bangsa. Kendatipun isunya masih dilematis dan memer-lukan pembuktian, tetapi asumsi-asumsi mengenai ketimpangan relasi antara kelompok etnis di Indonesia, menjadi momok politik bagi kelompok minoritas seperti halnya Agama, Etnik dan Ras.
Perlakuan anarkis dan rasis terhadap kelompok etnis Cina pada bulan Mei 1998, bahwa ada warga negara kelas dua dan warga negara keals satu di Indonesia. Perilaku diskriminatif terhadap kelompok minoritas dan bersifat protektif terhadap kelompok mayoritas barangkali dapat juga diuji dalam berbagai kasus di Indonesia, mana peristiwa-peristiwa kekerasan sistemik itu menjadi ancaman berkelanjutan untuk Persatuan Indonesia, yang dikonstruksikan dari ratusan kelompok etnis. Sesungguhnya, para pengelola negara di Indonesia perlu menyadari dan mengakui, sebagaimana gagasan yang pernah dikemukakan oleh pakar politik Jerman, Johan Gottfried von Herder bahwa masyarakat yang terpusat pada ikatan kesukuan dengan eksklusi sejarah atau konteks ksejarahannya tanpa disadari telah ikut mengembangkan nasionalisme.[7]
Upaya unifikasi (penggabungan) suku-suku bangsa di nusantara[8] yang dipikirkan olh Soekarno dan para pendiri bangsa bukan tanpa resiko. Pada abad ke-20, sejumlah kelompok etnik di Indonesia mulai mempersoalkan mengenai “siapakah mereka”, terutama tatkala ttjadi pergolakan bernuansa agama dan etnis, yang tidak pernah terselesaikan secara tuntas di negeri ini. Jurgen Hebermas meyakini bahwa masalah legitimasi dari sebuah negara modern harus dialaskan pada konsep hak-hak politik dari warga negara yang otonom.[9] Hebermas lebih menyukai gagasan yang membuka ruang bagi warga negara untuk secara otonom mengekspresikan dirinya, melalui kebebasan mengemukakan pendapat, dan memperoleh jaminan akan hak-haknya sebagai warga negara sebuah bangsa modern seperti Indonesia.
Pengakuan akan hak-hak dasar warga negara bukan saja menjadi keunikan Pancasila, dan salah satu silanya adalah Persatuan Indonesia, tetapi nuansa dan logika persatuan, juga sudah diramu melalui sebuah proses internalisasi nilai-nilai global dimana negara harus mengakui secara khusus identitas setiap kelompok etnis, nasional dan ras serta mendorong dan memperjuangkan dengan sungguh-sungguh kesetaraan hukum dan politik untuk semua warga negara. Konsep berpikir seperti Hebermas itu sejalan dengan Will Kymlicka, yang menekankan bahwa diskursus tentang kebebasan (otonomi) individu bersumber pada konstruksi kultural. Artinya, sebuah negara seperti Indonesia yang dibangun dari berbagai kelompok etnis yang kaya akan agama, kepercay-aan, budaya, dan lain sebagainya, mesti mengakui identitas etnis, meme-lihara keberagaman sehingga, kebutuhan-kebutuhan anggota etnis yang berbeda dapat diakomodasi.
Perspektif kebersamaan yang saling menghormati pernah dikemu-kakan oleh Sosrodiningrat melalui BPUK[10] yang menegaskan pentingnya persatuan dari yang majemuk, untuk Indonesia merdeka di kemudian hari kelak. “Berani merdeka berarti berani mempertahankan Indonesia, dan ini berarti berani berperang. Buat ini perlu persatuan sekokoh-kokoh-nya. Persatuan berarti bebas dari rasa perselisihan antara golongan, menyingkirkan diri, dan golongan sendiri, hanya dapat dicapai dengan korban”.[11]Pendekatan konseptual yang dapat membantu untuk memahami mengenai etnisitas atau dengan istilah kesukubangsaan ialah pendekatan konstruktivisme.[12] Pendekatan ini meminjam konsep-konsep yang telah dikembangkan oleh pendekatan naturalis dan struktural fungsionalis.
2.        Kemajemukan Etnis di Indonesia
Konsep Bhinneka Tunggal Ika[13] yang artinya berbeda-beda tetapi satu jua, berasal dari bahasa Jawa Kuno, mesti dirangkai lagi dengan sejarah silam kerajaan-kerajaan Hindu sebelumnya. Disini diperlukan kesadaran sejarah, untuk membangun sentimen bersama semua warga negara Indonesia, akan warisan budaya dan warisan sejarah yang telah meninggalkan pesan berharga, ketika Raja Sailendra, pada abad ke-18 dan abad ke-19 membangun Candi Borobudur melalui semangat kebersa-maan atau kesatuan dan persatuan saat itu. Teladan dan semangat meng-hargai perbedaan, dan terus membangun kebersamaan juga dipraktikan oleh Raja Erlangga ketika ia membangun kerajaannya di lembah Brantas, Jawa Timur.[14]
Memahami kesatuan dalam keberagaman itu, dalam hubungan-nya dengan pengertian dan sejarah “Bhinneka Tunggal Ika”, Cultural Survival memuat sebuah pandangan yang sudah banyak ditulis dalam buku-buku dan uraian-uraian berharga lainnya, dengan menegaskan kembali mengenai “Bhinneka Tunggal Ika” ini, yakni Unity in diversity (Bhinneka Tunggal Ika) was proclaimed the national motto of newly independent Indonesia when it served the bond of Dutch colonial rule at the end of World War II. The motto drawn from Sanskrit and attributed to rulers of the Majapahit Empire (a Javanese polity of the 14th century), evokes ancient ties between Javanese ang other powerful Asian Kingdoms.[15] Secara sederhana dapat diartikan bahwa “Bhinneka Tungga Ika diproklamirkan sebagai pandangan hidupbangsa Indonesia yang saat ini baru merdeka dari ikatan penjajahan Belanda pada akhir Perang Dunia II. Semboyan yang diambil dari bahasa Sanskerta dan dikaitkan dengan penguasa Kekaisaran Majapahit (sebuah pemerintahan Jawa abad ke-14), membangkitkan ikatan kuno antara orang-orang jawa dengan Kerajaan-kerajaan Asia lainnya yang berkuasa”.
Para tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia seperti Soerkarno, M. Hatta, M. Yamin, dkk; pada masa kemerdekaan belajar banyak dari bangsa-bangsa lain, bahwa sebuah himpunan etnis yang kemudian mena-namkan dirinya sebagai sebuah bangsa akan tercabik, kalau ada sebuah atau lebih kelompok etnis terlau mendominasi/menonjolkan (supremasi) terhadap kelompok etnis lainnya. Persatuan Indonesia selalu dan terus inheren dan identitas berbeda yang dipersatukan melalui nasionalisme (nation state or nationhood). Nilai dan semangat persatuan ini berada di atas semua kelompok etnis, sehingga kesadaran dan semangat persatuan untuk tetap menjunjung tinggi kebersamaan mesti dipertahankan dalam NKRI.
Idealnya bahwa Persatuan Indonesia tidak dimaksudkan untuk melebur seluruh kelompok etnis menjadi hanya satu etnis Indonesia, kendatipun dalam sejarah perjalanan Indonesia, tendensi untuk memak-sakan kesatuan (peleburan) itu terjadi. Harus ada semangat membangun dan menghargai perbedaan dan kesamaan, dan terus menghidupkan solidaritas lintas etnis, agama dan ras. Karena pentingnya isu Persatuan Indonesia, maka dalam pidato Presiden Soekarno tanggal 17 Agustus 1945, ia kembali mengingatkan mengenai nilai kemajemukan Indonesia itu. Oleh Soekarno menyerukan Ingat, kita ini bukan dari satu adat istiadat. Ingat kita ini bukan dari satu agama. Bhinnek Tunggal Ika, berbeda tapi satu, demikianlah tertulis dalam lambang negara kita, dan tekanan kataku sekarang ini kuletakkan kepada kita bhinna yaitu berbeda-berbeda-beda. Ingat kata ini bhinna, kita ini berbeda-beda.[16]
3.        Konsep Mengenai Pluralitas
Kemajemukan atau pluralitas adalah sebuah gagasan yang diper-gunakan untuk menjelaskan mengenai keberagaman agama, etnisitas, kebudayaan, pikiran, pandangan dunia (worldview), peran setiap individu dan masyarakat. Konseptualisasi mengenai kemajemukan tidak saja ditemukan pada tataran lokal, nasional dan regional, tetapi juga pada tataran global, dengan segala keberagaman budaya, agama, ideologi, dan kesukubangsaan. Oleh sebab itu, timbul penolakan terhadap pola pikir monolitik, yang menghadirkan dikotomi dalam sebuah negara bangsa (nation state), yang bangunan kewarganegaraan penduduknya bersifat majemuk. Berpikir monolitik atau kadang kala absolutis analog dengan cara berpikir yang tidak sama dengan kenyataan yang pada dirinya adalah prosedural. Dasar penolakan terhadap konsep-konsep monolitik adalah bahwa mereka tidak dapat dipercayai, karena mengabaikan kebhinnekaan kultural dan keyakinan serta praktik moral.
Wawasan monolitik dengan sendirinya membuat kategorisasi sistematik mengenai perbedaan yang didekati dan dipahami sebagai bert-entangan dengan realitas kata “aku”, sehingga terkonstruksinya ruang-ruang “kita”, “kami”, “mereka”, dan seterusnya. Reaitas biologis, fisik, dan ideologis dalam pemahaman monolitik adalah menguatkan sekat-sekat perbedaan, mengeliminasi hak-hak asasi sesama, dan memarjinal-kan peran kelompok minoritas, dan konstruksi sebuah bangunan masya-rakat heterogen atau majemuk. Sikap menolak “the other” sama dengan perilaku menafikkan nuansa demokratis dalam masyarakat terbuka dan modern. Sikap dominasi, hegemoni dan diskriminasi akan mereduksi hak-hak warga negara, dan nilai dasar dari setiap sila dalam Pancasila, prinsip demokrasi dan Hak-hak Azasi Manusia dari setiap warga negara.
Untuk mencegah terjadi keretakan di antara ratusan kelompok etnis yang memiliki kekayaan sistem nilai, budaya, pengetahuan lokal, kepercayaan, agama dan budaya, maka Indonesia tepat dinamakan sebagai negeri multi etnis. Masih bertahannya Indonesia sebagai sebuah negara kesatuan, realitas sosial dan politik itu dimungkinkan oleh adanya kesadaran sejarah bersama, sebagai sebuah keluarga besar bangsa, yang diikat oleh semangat persatuan dan kesatuan, sebagaimana diamanatkan dalam sila “Persatuan Indonesia”. Kebijakan bernuansa “mayoritas atau kelompok dominan” versus “minoritas atau termarjinalisasi”, dengan sistemik dan berlangsung lama, dan turut menyuburkan segregasi sosial berkelan-jutan, akan menjadi elemen penyebab konflik antar kelompok etnik dan agama.
C.      Penutup
Tipologi masyarakat majemuk seperti Indonesia dengan ratusan kelompok etnis, tidak akan pernah aman dari ancaman disintegrasi bangsa. Faktor agama pun menjadi unsur sensitif yang dapat membawa konflik. Terancamnya NKRI salah satu faktornya adalah kebijakan negara yang membiarkan kelompok-kelompok pengacau melakukan terobosan politik bernuansa agama di segala ruang kehidupan bernegara, bermasyarakat dan berbangsa yang sungguh ingkar terhadap kebhinnekaan bangsa Indonesia yang majemuk.
Persatuan Indonesia sejatinya memiliki multi dimensi, tidak saja penyatuan ratusan kelompok etnik dalam NKRI, tetapi penyatuan gagasan dan kesediaan untuk mengelola perbedaan yang tidak mungkin disamakan oleh paksaan politik seperti yang berlangsung pada era pemerintahan orde baru. Politik melemahkan eksistensi dan peran setiap kelompok etnik dengan cerdiknya diperankan oleh rezim penguas Soeharto, dengan menyuburkan gagasan minoritas dan mayoritas. Lemahnya Persatuan Indonesia juga disebabkan oleh tidak meratanya pemahaman yang utuh akan setiap sila dalam Pancasila, yang berdampak pada perlakuan terhadap warga negara Indonesia lainnya (minoritas agama, etnik, ras dan golongan), bukan sebagai warga negara dalam status yang sama, tetapi sebagai warga negara kelas dua.
Suatu nilai terdalam dalam menghayati dan menjamin kemajemukan tetap diakui, dihargai, dan ditata bersama terbenam dalam kandungan nilai budaya dan agama yang erat dan tidak selau dapat dipisahkan. Upaya serius para pendiri bangsa untuk merawat kemajemukan melalui hidup bersama, memerlukan beberapa prasyarat yang sering dilupakan oleh para penentu kebijakan di negeri ini, mulai dari tingkat pusat sampai ke daerah-daerah. Ancaman terhadap keutuhan NKRI sangat mungkin terjadi sebab, ketidak-berdayaan pemerintah dalam menjamin hak-hak dasar masyarakat seperti halnya beribadah, memperoleh pendidikan yang wajar, menyalurkan pendapat, dan lain sebagainya, mana hal tersebut merupakan amanat Pembukaan UUD NRI 1945. Masa depan masyarakat Indonesia yang majemuk dan amanah Persatuan Indonesia dari seluruh elemen masyarakat berada di tangan ujian sejarah, dan membuktikan tanggung jawab bersama untuk menjaga ketentraman dan ketertiban sosial masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu, nilai terdalam dari Persatuan Indonesia ialah pemerintah dan masyarakat, kelolalah perbedaan agama, etnik, budaya, ras dan golongan dengan bertanggungjawab.


[1]     Tema disampaikan pada Kegiatan Kajian Rutin Forum Group Discussion Rumah Diskusi Tangerang di Aula Rektorat Universitas Pamulang. Rabu, 2 Agustus 2017.
[2]     Ketua Dewan Pimpinan Cabang Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Tahun 2016-2018, Ketua Delegasi Fakultas Hukum Universitas Pamulang pada kegiatan Constitution Moot Court Competition Piala Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Tahun 2016, Alumni Cambridge School of English Tahun 2016, Perwakilan Bhakti Pemuda Antar Provinsi (BPAP) Tingkat Kota Tangerang Selatan Tahun 2015.
[3]     Transendental secara harafiah dapat diartikan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan transenden atau sesuatu yang melampaui pemahaman terhadap pengalaman biasa dan penjelasan ilmiah. Hal-hal yang transenden biasanya bertentangan dengan dunia material.
[4]     Imanensial atau Imanen (imanensi) adalah paham yang menekankan berpikir dengan diri sendiri atau subjektif. Istilah imanensi berasal dari Bahasa Latin “immanere” yang berarti “tinggal di dalam”. Imanen adalah lawan kata dari transenden.
[5]     Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Jurnal Bhinneka Tunggal Ika Volume 3 No. 2 Tahun 2012, Jakarta, 2012, hal. 97.
[6]     Ibid.
[7]     Ibid, hal. 98.
[8]     Timbulnya gagasan mengenai negara Nusantara yang berkembang menjadi Wawasan Nusantara, berdasarkan Deklarasi 13 Desember 1957. Berkaitan dengan integritas wilayah Indonesia, menurut Prof. Mochtar Koesoemaatmadja bahwa wilayah negara Indonesia sebagai satu kesatuan yang bulat yang meliputi unsur tanah (darat) dan air (laut).
[9]     Otonomisasi yang dimaksud-kan oleh Hebermas tidak dalam kaitan otonomi teritorial atau spesial yang sering dikumandangkan di Indonesia setiap kali terjadi konflik antar pemerintah dan kelompok etnis (misalnya, Organisasi Papua Merdeka).
[10]    BPUK adalah singkatan dari Badan Persiapan Usaha Kemerdekaan.
[11]    Suatu kesadaran sejarah yang utuh dari realitas dari kemajemukan bangsa Indonesia, yang terdiri dari beberapa latar belakang agama, suku atau etnis, ras dan golongan, sekaligus peringatan untuk menghargai kontribusi semua kelompok tanpa kecuali dalam negara Indonesia merdeka.
[12]    Teori konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan menciptakan sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Konstruktivisme sebenar-nya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Menurut Prof. John Haba, bahwa pandangan konstruktivisme ini lebih jelas dikaitkan dengan isu-isu etnisitas, ras dan kultural, dan terfokus pada cara bagaimana identitas-identitas etnis dan batas-batasnya berubah secara historis. Atau dengan kata lain, sebuah upaya kelompok dominan (mayoritas) untuk mengintimidasi kelompok lain (minoritas). Atau, bagaimana kelompok-kelompok etnis itu sendiri mempresentasi corak berpikir mereka tentang kelompok mereka identitas (historitas) sendiri. Apabila pandangan konstruktivisme diangkat, dan dipergunakan untuk memahami kondisi dan realitas etnis di Indonesia yang sangat berbeda (kebhinnekaan), maka akan ditemukan wawasan-wawasan berikut:
1.   Sisi positif, yakni hak dan eksistensi setiap kelompok etnis yang hidup dan tinggal di Indonesia dapat mengkonstruksikan diri atau “siapakah mereka” itu;
2.   Sisi negatif, yakni mengkonstruksikan diri dan identitas etnis dalam sebuah bangunan negara bangsa yang majemuk, tanpa diikat oleh sebuah bingkai nasionalisme yang kokoh, maka yang akan lebih menonjol adalah dimensi “Ika” nya daripada “Kebhin-nekaan” nya.
[13]    Kata “Bhinneka Tunggal Ika” ini diambil dari karya Mpu Tantular “Sutasoma” dari Kerajaan Majapahit pada abad ke-14. Kutipan lengkap karya ternama Mpu Tantular itu adalah sebagai berikut, “Rwaneka dhatu winuwus Budha Wiswa. Bhinneki rakwa ring apan kena parwanosen. Mangkang Jinatwa kalawn Siwatatwa tunggal. Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa”. Artinya adalah “Konon Budha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda. Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenal ?. Sebab kebenaran Jina (Budha) dan Siwa adalah tunggal. Terpecah belahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran”. Sumber Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Op.Cit.
[14]    Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Loc.cit.
[15]    http://www.culturalsurvival.org/publications/cultural-survival-quarter, sumber diakses pada tanggal 1 Agustus 2017.
[16]Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Op.Cit.

Komentar

zanittkage mengatakan…
No Deposit Bonus Codes, Promo Codes - Dr.MCD
$100 free No Deposit Bonus 진주 출장샵 for 김천 출장마사지 Slots · Bonus Code: "SPORTBONUS" · Minimum 시흥 출장안마 Deposit: $10 · Must be 21 or older · Valid 의왕 출장샵 for: Slots · No Deposit Bonus: 논산 출장안마

Postingan populer dari blog ini

KRIMINOLOGI

PENGANTAR Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kejahatan dan penjahat ( crime and criminal ), serta tidak terlepas dari  studi tentang bagaimana reaksi masyarakat terhadap keduanya. [1] Walaupun hingga saat ini ruang lingkup dan batasan kriminologi masih menuai perbedaan pendapat di antara para ahli. Berawal dari teori Plautus dan Thomas Hobbes yang mengatakan bahwa manusia adalah serigala bagi sesama manusia ( homo homini lupus ), maka perlu dibuat serangkaian norma untuk mengatur perilaku manusia dalam bermasyarakat, hal ini dimaksudkan sebagai upaya proteksi dari serangan manusia lainnya, agar manusia dapat hidup dan memenuhi kebutuhan hidupnya secara berdampingan tanpa harus selalu saling menyakiti. Dalam hal ini, jelas bahwa tujuan dari dibentuknya norma adalah untuk ditaati. Di sisi lain, untuk menjamin dan mendukung tegaknya norma dalam masyarakat diperlukan sanksi agar manusia dapat menekan kehendak bebasnya ketika berbuat sesuatu dengan me...

HUKUMAN BERSYARAT

Law and Justice Teori Hukuman Bersyarat Atau Hukuman Dengan Perjanjian ( Voorwaardelijke veroordeling ) Hukuman bersyarat ( voorwaardelijke veroordeling ) atau biasa disebut juga hukuman dengan perjanjian, dapat dijelaskan dalam dua fase sebagai berikut: Fase Pertama,     Terpidana dinyatakan bersalah lalu ditetapkan suatu masa percobaan .                       Pada prinsipnya orang tersebut telah dipidana, akan tetapi hukuman itu tidak usah dijalankan terlebih dahulu, maksudnya adalah untuk memberikan kesempatan kepada terpidana supaya dalam masa percobaan itu ia memperbaiki kelakuaannya dan tidak berbuat suatu peristiwa pidana lagi atau melanggar perjanjian yang diadakan oleh hakim kepadanya dengan harapan jika berhasil, maka hukuman yang telah dijatuhkan kepadanya tidak akan dijalankan untuk selama-lamanya. Fase Kedua,       Hukuman...