Langsung ke konten utama

HUKUMAN BERSYARAT


Law and Justice
Teori Hukuman Bersyarat Atau
Hukuman Dengan Perjanjian
(Voorwaardelijke veroordeling)
Hukuman bersyarat (voorwaardelijke veroordeling) atau biasa disebut juga hukuman dengan perjanjian, dapat dijelaskan dalam dua fase sebagai berikut:
Fase Pertama,    Terpidana dinyatakan bersalah lalu ditetapkan suatu masa percobaan.
                      Pada prinsipnya orang tersebut telah dipidana, akan tetapi hukuman itu tidak usah dijalankan terlebih dahulu, maksudnya adalah untuk memberikan kesempatan kepada terpidana supaya dalam masa percobaan itu ia memperbaiki kelakuaannya dan tidak berbuat suatu peristiwa pidana lagi atau melanggar perjanjian yang diadakan oleh hakim kepadanya dengan harapan jika berhasil, maka hukuman yang telah dijatuhkan kepadanya tidak akan dijalankan untuk selama-lamanya.
Fase Kedua,      Hukuman baru akan timbul apabila sebagaimana dimaksud dalam fase pertama tidak berhasil dilaksanakan yakni jika terpidana sebelum habis masa waktu percobaan, ternyata telah berbuat suatu peristiwa pidana atau melanggar perjanjian yang diadakan oleh hakim kepadanya.
Dengan kata lain, harus menjalani hukuman yang telah dijatuhkan kepadanya.

Menurut R. Atang Ranoemihardja (1984 : 145), bahwa ketentuan mengenai hukum bersyarat atau hukuman dengan perjanjian ini baru lahir pada tahun 1927 dan diatur dalam Pasal 14 huruf a KUHP, yang disebutkan berikut ini:
1)     Apabila hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana kurungan, tidak termasuk pidana kurungan pengganti maka dalam putusannya hakim dapat memerintahkan pula bahwa pidana tidak usah dijalani, kecuali di kemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain, disebabkan karena terpidana melakukan suatu delik sebelum masa percobaan yang ditentukan dalam perintah tersebut di atas habis, atau karena terpidana selama masa percobaan tidak memenuhi syarat khusus yang mungkin ditentukan dalam perintah itu;
2)  Hakim juga mempunyai kewenangan seperti di atas, kecuali dalam perkara-perkara mengenai penghasilan dan persewaan negara apabila menjatuhkan pidana denda, tetapi harus ternyata kepadanya bahwa pidana denda atau perampasan yang mungkin diperintahkan pula akan sangat memberatkan terpidana. Dalam menerapkan ayat ini, kejahatan dan pelanggaran candu hanya dianggap sebagai perkara mengenai penghasilan negara, jika terhadap kejahatan dan pelanggaran itu ditentukan bahwa dalam hal dijatuhi pidana denda, tidak diterapkan ketentuan Pasal 30 ayat (2);
3)    Jika hakim tidak menentukan lain, maka perintah mengenai pidana pokok juga mengenai pidana tambahan;
4)    Perintah tidak diberikan, kecuali hakim setelah menyelidiki dengan cermat berkeyakinan bahwa dapat diadakan pengawasan yang cukup untuk dipenuhinya syarat umum, bahwa terpidana tidak akan melakukan delik, dan syarat–syarat khusus jika sekiranya ditetapkan;
5)   Perintah tersebut ayat (1) harus disertai hal-hal atau keadaan-keadaan yang menjadi alasan perintah itu.

Sejak tahun 1927 berdasarkan L.N. 1926 Nomor 251 jo. 486, lahirnya ketentuan sebagaimana biasa disebut peraturan tentang “Hukuman Dengan Perjanjian” atau “Hukuman Bersyarat”.

Menurut Prof. R. Sugandhi (1980 : 19), bahwa pada pokoknya hukuman itu dijatuhkan, tetapi si terhukum tidak usah menjalani hukuman tersebut. Menurutnya, maksud daripada vonis hukuman percobaan tersebut adalah untuk memberi kesempatan kepada terhukum supaya dalam masa percobaan itu, ia dapat memperbaiki diri dan tidak melakukan tindak pidana atau melanggar perjanjian yang telah diadakan, hukuman yang telah dijatuhkan kepadanya itu tidak usah dijalankan untuk selama-selamanya.

Perlu diketahui bahwa hukuman bersyarat ini hanya dapat dijatuhkan pada tindak pidana yang diancam dengan hukuman penjara tidak lebih dari satu tahun dan hukuman kurungan yang bukan pengganti denda. Oleh sebab itu, apabila hukuman penjara lebih dari satu tahun dan hukuman kurungan penggantu denda, tidak mungkin dapat dijatuhi hukuman bersyarat semacam ini.

Selain itu, ayat (2) pasal a quo menunjukkan bahwa terhadap penghasilan –penghasilan negara dan bea cukai tidak boleh dijatuhkan hukuman bersyarat. Artinya, agar perbendaharaan negara jangan sampai dirugikan oleh keputusan hakim. Selanjutnya, ayat kedua pasal ini menunjuk kepada ayat pertama dalam hal menjatuhkan hukuman denda, akan tetapi menentukan syarat bagi hakim. Hakim harus yakin bahwa pembayaran denda atau perampasan barang-barang yang diperintahkan dalam keputusan itu benar-benar menimbulkan keberatan bagi orang yang dihukum.

Tujuan diadakannya hukuman bersyarat ini menurut Prof. R. Sugandhi, ialah baik sekali, akan tetapi sangat disayangkan bahwa dalam prakteknya si terhukum tidak dapat memahami maksud ini, sehingga putusan ini dipandang keliru sebagai putusan bebas dari hukuman.


Daftar Pustaka
R. Atang Ranoemihardja, Hukum Pidana, Tarsito, Bandung, 1984.
R. Sugandhi, KUHP dan Penjelasannya, Usaha Nasional, Surabaya, 1980.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KRIMINOLOGI

PENGANTAR Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kejahatan dan penjahat ( crime and criminal ), serta tidak terlepas dari  studi tentang bagaimana reaksi masyarakat terhadap keduanya. [1] Walaupun hingga saat ini ruang lingkup dan batasan kriminologi masih menuai perbedaan pendapat di antara para ahli. Berawal dari teori Plautus dan Thomas Hobbes yang mengatakan bahwa manusia adalah serigala bagi sesama manusia ( homo homini lupus ), maka perlu dibuat serangkaian norma untuk mengatur perilaku manusia dalam bermasyarakat, hal ini dimaksudkan sebagai upaya proteksi dari serangan manusia lainnya, agar manusia dapat hidup dan memenuhi kebutuhan hidupnya secara berdampingan tanpa harus selalu saling menyakiti. Dalam hal ini, jelas bahwa tujuan dari dibentuknya norma adalah untuk ditaati. Di sisi lain, untuk menjamin dan mendukung tegaknya norma dalam masyarakat diperlukan sanksi agar manusia dapat menekan kehendak bebasnya ketika berbuat sesuatu dengan me...

Urgensi Pancasila Sebagai Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia

Pancasila dan NKRI Urgensi Pancasila Sebagai Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia [1] Oleh:   Mareti Waruwu [2] A.      Pendahuluan Pancasila mesti diterima dengan akal sehat sebagai warisan berharga bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila memiliki dimensi multi fungsi, sebagai sumber ideologi, sebagai pemersatu, sebagai rujukan hukum, dasar negara, dan lain sebagainya. Suatu keberuntungan sejarah, sebab negeri ini dikaruniai kesadaran bersama akan warisan ideologi dalam menjaga, dan mempertahankan kebersamaan sebagai sebuah bangsa berdaulat. Merajut gagasan dalam mengkonstruksikan sebuah realitas kebhinne-kaan di bumi Indonesia merupakan sebuah mahakarya. Sebab kristalisasi beragam nilai, norma dan kepercayaan, melalui sebuah intellectual exersices yang lama, mendalam dan relevan oleh Soekarno dan para pemikir bangsa, maka lahirlah Pancasila, yang didalamnya terhimpun segala unsur, baik yang bersifat transendental [3] , imanensi...