Langsung ke konten utama

KRIMINOLOGI

PENGANTAR
Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kejahatan dan penjahat (crime and criminal), serta tidak terlepas dari  studi tentang bagaimana reaksi masyarakat terhadap keduanya.[1] Walaupun hingga saat ini ruang lingkup dan batasan kriminologi masih menuai perbedaan pendapat di antara para ahli.
Berawal dari teori Plautus dan Thomas Hobbes yang mengatakan bahwa manusia adalah serigala bagi sesama manusia (homo homini lupus), maka perlu dibuat serangkaian norma untuk mengatur perilaku manusia dalam bermasyarakat, hal ini dimaksudkan sebagai upaya proteksi dari serangan manusia lainnya, agar manusia dapat hidup dan memenuhi kebutuhan hidupnya secara berdampingan tanpa harus selalu saling menyakiti. Dalam hal ini, jelas bahwa tujuan dari dibentuknya norma adalah untuk ditaati. Di sisi lain, untuk menjamin dan mendukung tegaknya norma dalam masyarakat diperlukan sanksi agar manusia dapat menekan kehendak bebasnya ketika berbuat sesuatu dengan memperhatikan serangkaian norma yang menjadi guidance dalam menentukan perbuatan yang dianggap baik dan tercela di masyarakat. Norma-norma yang hidup mungkin akan berbeda antara satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya, namun secara umum terdapat norma-norma khas yang hidup dan menjadi nilai yang dianggap umum dalam mayoritas kelompok masyarakat yang berbeda-beda, seperti mencuri itu perbuatan tercela, dll. Diantara norma-norma yang hidup dalam masyarakat, norma hukum memiliki perangkat sanksi yang paling hebat, baik dalam hal bentuk sanksinya yang berupa derita atau nestapa maupun ketersediaan alat kontrol atau aparatur penegakan norma hukumnya.
Kenyataan yang terjadi seiring dengan perkembangan waktu, ternyata hukum pidana yang sudah dianggap begitu hebat dengan sanksi dan alat kontrolnya belum dapat menghentikan atau setidaknya mengurangi secara signifikan jumlah kejahatan yang terjadi di masyarakat. Perkembangan masyarakat justru berbanding lurus dengan perkembangan modus kejahatan. Hal ini menunjukkan bahwa norma hukum pidana tidak lagi efektif sebagai alat utama dalam mencegah kejahatan. Thomas More menunjukkan bahwa sanksi yang berat bukanlah faktor utama untuk memacu efektifitas dalam hukum pidana.[2] Adalah suatu kenyataan pada zamannya para pencopet tetap beraksi di tengah kerumunan masyarakat yang sedang menyaksikan eksekusi hukuman mati pada 24 penjahat.
Pada satu edisi di media cetak nasional, dalam satu hari diberitakan telah terjadi beberapa kejahatan; eksploitasi seksual, tawuran pemuda, pembunuhan pelaku seks sesama jenis, penjarahan, mutilasi berlatar belakang asmara, korupsi, dan pencurian kendaraan bermotor. Dari sekian banyak peristiwa kejahatan yang diberitakan tersebut, tentu masyarakat harus berpikir bahwa peristiwa yang diberitakan di media cetak hanya merupakan segelintir peristiwa diantara sejumlah besar peristiwa kejahatan yang terjadi di masyarakat, termasuk di dalamnya sejumlah peristiwa kejahatan yang masuk dalam kategori angka gelap karena kejadiannya yang tidak atau belum terungkap di masyarakat.
Tingginya angka kejahatan dengan berbagai modus yang terjadi di masyarakat cukup menunjukkan signifikansi kriminologi dalam upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan. Kenyataannya adalah:
a.       kejahatan atau perilaku menyimpang akan selalu ada (even in society of saints);
b.      “penjahat”/pelaku kejahatan adalah bagian dari masyarakat;
c.       perkembangan masyarakat dan teknologi membuka lahan baru dan modus baru kejahatan;
d.      kondisi social politik dan keamanan saat ini cukup kondusif untuk terjadinya kejahatan;
e.       tujuan ekonomi, politik, hukum, dll, diterobos melalui kejahatan.
Kondisi tersebut di atas menunjukkan urgensi dari kriminologi. Pada kenyataannya sanksi yang berat dan tegas belum mampu menekan jumlah kejahatan dalam masyarakat. Terdapat aspek sosial, ekonomi, psikologis, dll yang perlu terus dikaji untuk menjadi masukan bagi:
a.       Masyarakat luas;
b.      Pembuat kebijakan khususnya;
c.       Kepolisian;
d.      Kejaksaan;
e.       KPK;
f.        Pengadilan;
g.       Lembaga pemasyarakatan;
h.      Perencana tata ruang kota;
i.         Penanganan konflik;
j.         dll
Hal ini merupakan gambaran manfaat besar dari kriminologi dalam pencegahan dan penanggulangan kejahatan.
Penelitian-penelitian tentang kriminologi pada mulanya bermaksud menerangkan hubungan kausal antara beberapa faktor, diantaranya faktor sosial, psikologis, dan budaya dengan timbulnya kejahatan (khususnya pelanggaran norma hukum). Studi tentang ini dikenal dengan nama etiologi kriminal, dengan berbagai teori yang dikenal di Indonesia (1960-1980), diantaranya adalah Teori Ekonomi Tentang Kejahatan, Teori Dialog Dalam Kriminologi, Differential Association Theory, Teori Anomi, Culture Conflict Theory, Sub Culture Of Violence, dan The New Criminology.
Kriminologi pada dasarnya bertujuan menganalisis sebab-sebab terjadinya kejahatan, oleh karena itu kriminologi dianggap sebagai “ilmu bantu” bagi ilmu hukum pidana, baik itu hukum pidana formil maupun hukum pidana materiil. Sebagai ilmu bantu dalam menjawab berbagai permasalahan gejala kejahatan di dunia (the globalization of crime), maka batas-batasnya akan menjadi sangat longgar. Kriminologi dapat dimasuki berbagai imu lain, seperti: ilmu hukum, ilmu ekonomi, sosiologi, antropologi, ilmu politik, psikologi, dll.[3] Oleh karena itulah menjadi sangat melegenda ungkapan Van Bemmelen: “the Criminologist is a King without a Country”.[4]
Kriminologi sebagai ilmu bantu dalam hukum pidana yang memberikan pemahaman yang mendalam tentang fenomena kejahatan, sebab dilakukannya kejahatan dan upaya menanggulangi kejahatan, hal ini bertujuan untuk menekan laju perkembangan kejahatan, yang juga merupakan tujuan utama dari hukum pidana. Hal inilah yang menjadikan kriminologi dan hukum pidana menjadi sangat berkaitan, sebab secara umum kriminologi memiliki tujuan yang sama dengan hukum pidana, yaitu mencegah perbuatan jahat (tercela) dan menekan laju perkembangan kejahatan.
Seorang antropolog asal Perancis, bernama Paul Topinard mengemukakan bahwa “Kriminologi adalah suatu cabang ilmu yang mempelajari soal-soal kejahatan”. Kata Kriminologi itu sendiri berdasarkan etimologinya berasal dari dua kata, crimen yang berarti kejahatan dan logos yang berarti ilmu pengetahuan, sehingga secara sederhana Kriminologi dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari kejahatan.[5]
Studi dan penelitian tentang kriminologi dewasa ini telah mengalami perkembangan yang cukup signifikan, yang semula kriminologi hanya terfokus untuk mencari “hubungan segitiga” (basic triangle of relations) antara: pelaku kejahatan, korban kejahatan, dan negara, namun dalam perkembangnnya saat ini kriminologi telah memperluas fokus studinya pada “hubungan segi empat” (the square of crime), yaitu antara pelaku kejahatan dan korban kejahatan (sebagai aktor), serta negara dan masyarakat madani (sebagai re-aktor).[6] Tentu harus pula dipertimbangkan adanya perkembangan konsep pelaku kejahatan, yang dapat menarik negara juga sebagai pelaku kejahatan (misalnya dalam studi-studi tentang Hak Asasi Manusia).
Kriminologi merupakan sarana ilmiah bagi studi tentang kejahatan dan penjahat (crime and criminal). Dalam wujud ilmu pengetahuan, Kriminologi ditunjang oleh ilmu pengetahuan dan hasil penelitian dari berbagai disiplin, sehingga aspek pendekatan terhadap obyek studinya luas sekali, dan secara interdisipliner dari ilmu-ilmu sosial dan humaniora serta dalam pengertian yang luas mencakup pula kontribusi dari ilmu eksakta.[7]
Herman Mannheim dalam buku Soedjono Dirjosisworo[8] mengemukakan bahwa arti penting penelitian kriminologi sedikitnya akan menelusurkan atau paling sedikit mengurangi kepercayaan yang salah, terutama yang menyangkut sebab-sebab kejahatan serta mencari berbagai cara pembinaan narapidana yang baik. Dalam sisi positifnya suatu penelitian dapat bermanfaat untuk meningkatkan pembinaan pelanggaran dan lebih jauh menggantikan cara dalam pembinaan pelanggaran hukum. Karena hasil penelitian kriminologi lambat laun memberikan hasil terutama melalui penelitian kelompok kontrol dan penelitian ekologis yang menyediakan bahan keterangan yang sebelumnya tidak tersedia mengenai non delikuen dan mengenai ciri-ciri berbagai wilayah tempat tinggal dalam hubungan dengan kejahatan.
Menurut Moeljatno, kriminologi merupakan ilmu pengetahuan tentang kejahatan dan kelakuan buruk tentang orang yang tersangkut pada kejahatan dan kelakuan buruk tersebut. Dalam hal ini kejahatan dan termasuk pula di dalamnya pelanggaran, artinya perbuatan yang menurut undang-undang diancam dengan pidana, sedangkan kriminalitas meliputi kejahatan dan kelakuan buruk.[9]
Kriminologi menurut Soedjono Dirdjosisworo adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari sebab, akibat, perbaikan dan pencegahan kejahatan sebagai gejala manusia dengan menghimpun sumbangan-sumbangan berbagai ilmu pengetahuan. Tegasnya, kriminologi merupakan sarana untuk mengetahui sebab-sebab kejahatan dan akibatnya, mempelajari cara-cara mencegah kemungkinan timbulnya kejahatan.[10]
Sutherland, merumuskan kriminologi sebagai keseluruhan ilmu pengetahuan yang terikat dengan perbuatan jahat sebagai gejala sosial. Menurut Sutherland, kriminologi mencakup proses-proses pembuatan hukum, pelanggaran hukum dan reaksi atas pelanggaran hukum.[11]
M.A.W Bonger memberikan definisi kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala-gejala kejahatan dan tingkah laku yang tidak senonoh, sebab-musabab dan akibat-akibatnya.[12]
Jika merujuk pada seluruh batasan yang telah dikemukakan para ahli kriminologi di atas, secara umum studi kriminologi memiliki cakupan:[13]
a.orang yang melakukan kejahatan;
b.      penyebab melakukan kejahatan;
c. mencegah tindak kejahatan;
d.      cara-cara menyembuhkan orang yang telah melakukan kejahatan
Melalui uraian di atas, secara garis besar telah mampu menggambarkan manfaat besar kriminologi terhadap hukum pidana. Dengan mempelajari kriminologi, selanjutnya dapat memahami hukum pidana secara lebih utuh dan komprehensif. Sebab kriminologi mempelajari kejahatan lebih kepada fakta-fakta empiris, yang mampu membuka pandangan berpikir lebih luas ketika mempelajari hukum pidana. Studi-studi tentang kriminologi yang bersifat interdisipliner dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu dalam mendukung setiap studi ilmiahnya, bermaksud menjawab hubungan sebab akibat antara penjahat, kejahatan, termasuk segala faktor yang menjadi penyebab adanya penjahat dan kejahatan, serta penelitian-penelitian ilmiah perihal pencegahan dan penanggulangannya. Melihat dari ruang lingkup kriminologi tersebut, ilmu tentang kriminologi akan sangat membantu hukum pidana dalam mencapai tujuan besarnya, yaitu untuk menekan perbuatan jahat (tercela dalam pandangan masyarakat) melalui seperangkat aturan perundang-undangan dan termasuk di dalamnya sanksi yang membawa nestapa bagi pelaku kejahatan. Untuk itu, selanjutnya akan dibahas lebih rinci mengenai manfaat kriminologi.

MANFAAT ILMIAH KRIMINOLOGI
Kriminologi merupakan ilmu yang mempelajari kejahatan dan pelaku kehatan dari berbagai aspek. Tentu ada banyak manfaat yang telah dihasilkan dari serangkaian studi dan penelitian di bidang kriminologi, termasuk diantaranya manfaat bagi perkembangan teori ilmu pengetahuan, baik dalam bidang ilmu hukum, ilmu antropologi (antropoligi fisik, antropologi budaya), ilmu psikologi, ilmu biologi, ilmu ekonomi, ilmu kimia, ilmu statistik, dan ilmu pengatahuan lainnya yang turut merasakan manfaat perkembangan teori-teori keilmuan di bidangnya. Pada tulisan ini, akan dibahas beberapa manfaat ilmiah kriminologi terhadap beberapa cabang ilmu, tentu ada banyak cabang ilmu pengetahuan lainnya yang juga turut merasakan manfaat ilmiah kriminologi.
a.       Ilmu Antropologi
Istilah “antropologi” berasal dari bahasa Yunanai asal kata “anthropos” berarti “manusia”, dan “logos” berarti “ilmu”, dengan demikian secara harfiah “antropologi” berarti ilmu tentang manusia. Para ahli antropologi (antropolog) sering mengemukakan bahwa antropologi merupakan studi tentang umat manusia yang berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya, dan untuk memperoleh pengertian ataupun pemahaman yang lengkap tentang keanekaragaman manusia.[14] Jadi antropologi merupakan ilmu yang berusaha mencapai pengertian atau pemahaman tentang mahluk manusia dengan mempelajari aneka warna bentuk fisiknya, masyarakat, dan kebudayaannya.
Secara makro ilmu antropologi dapat dibagi ke dalam dua bagian, yakni antropologi fisik dan budaya. Antropologi fisik mempelajari manusia sebagai organisme biologis yang melacak perkembangan manusia menurut evolusinya, dan menyelidiki variasi biologisnya dalam berbagai jenis (specis).[15] Sedangkan antropologi budaya memfokuskan perhatiannya pada kebudayaan manusia ataupun cara hidupnya dalam masyarakat.[16] ’Antropologi budaya’ mengkaji tentang praktik-praktik sosial, bentuk-bentuk ekspresif, dan penggunaan bahasa, di mana makna diciptakan dan diuji sebelum digunakan masyarakat. Dalam kaitannya dengan kriminologi, studi antropologi akan membantu dalam mempelajari tanda-tanda fisik yang menjadi ciri khas dari seorang penjahat. Misalnya: menurut Lombroso[17] ciri seorang penjahat diantaranya: tengkoraknya panjang, rambutnya lebat, tulang pelipisnya menonjol ke luar, dahinya mencong dan seterusnya. Teori Lombroso tentang born criminal menyatakan bahwa para penjahat adalah suatu bentuk yang lebih rendah dalam kehidupan, lebih mendekati nenek moyang mereka yang mirip kera dalam sifat bawaan dan watak dibandingkan mereka yang bukan penjahat. Studi antropologi tidak hanya memberikan manfaat besar bagi perkembangan kriminologi melalui penelitiannya terkait ciri fisik pelaku kejahatan, studi antropologi budaya juga memberikan hasil ilmiah berupa hubungan kausalitas antara pelaku kejahatan, kejahatan, dengan lingkungan budayanya, seperti: praktik-praktik sosial, bentuk-bentuk ekspresif, penggunaan bahasa, dll.
Studi-studi Antropologi tentang pelaku kejahatan akan sangat bermanfaat secara ilmiah bagi perkembangan teori kriminologi. Sebaliknya teori-teori kriminologi akan menjadi dasar bagi perkembangan studi-studi baru di bidang antropologi.
b.      Ilmu Sosiologi
Secara terminologi ‘sosilogi’ berasal dari bahasa Latin dan Yunani, yakni kata ‘socius’ dan ‘logos’. ‘Socius’ (Yunani) yang berarti ‘kawan’, ‘berkawan’, ataupun ‘bermasyarakat’. Sedangkan ‘logos’ berarti ‘ilmu’ atau bisa juga ‘berbicara tentang sesuatu’. Dengan demikian secara harfiah istilah “sosiologi” dapat diartikan ilmu tentang masyarakat.[18]
Kajian sosiologi banyak menelaah fenomena-fenomena yang ada di masyarakat, seperti; norma-norma, kelompok-kelompok sosial, stratifikasi dalam masyarakat, lembaga-lembaga kemasyarakatan, proses-proses sosial, perubahan sosial, kebudayaan dan lain sebagainya. Dalam realitanya kondisi ideal yang diharapkan masyarakat itu tidaklah sepenuhnya berjalan normal, dalam arti bayak fenomena abnormal terjadi secara patologis, yang dapat disebabkan oleh tidak berfungsinya unsur-unsur yang ada pada masyarakat tersebut. Fenomena-fenomena kekecewaan dan penderitaan masyarakat tersebut dinamakan problema-problema sosial yang berhubungan erat dengan nilai-nilai sosial Dengan demikian kegunaan sosiologi secara praktis dapat berfungsi untuk mengetahui, mengidentifikasi, dan mengatasi problema-problema sosial.[19]
Dilihat dari sudut fokus kajiannya secara makro dapat dibedakan berdasarkan bidang-bidang keilmuannya. Sebagai contoh problema- problema yang berasal dari faktor ekonomi seperti; kemiskinan dan pengangguran. Problema sosial yang disebabkan oleh faktor kesehatan, misalnya; terjangkitnya penyakit menular, rendahnya angka harapan hidup, serta tingginya angka kematian. Problema sosial yang disebabkan oleh faktor psikologis misalnya meningkatnya fenomena neurosis (sakit syaraf), tingginya penderita stress, dan sebagainya. Lain lagi dengan problema sosial yang disebabkan oleh faktor politik, misalnya; tersumbatnya aspirasi politik massa, meningkatnya sistem pemerintahan yang otoriter, ataupun tidak berfungsinya lembaga-lembaga tinggi negara (legislatif, eksekutif, maupun yudikatif). Sedangkan problema sosial yang disebabkan oleh faktor hukum misalnya; meningkatnya angka kejahatan, korupsi, perkelahian, perkosaan, delinkuensi remaja, dan bentuk-kriminalitas lainnya termasuk “white-collar crime” yang sedang marak belakangan ini.
Dalam kaitannya dengan kriminologi, sosiologi kriminal dapat dikaitkan dalam tiga kelompok:
                           i.            Etiologi Sosial :
Yaitu ilmu yang mempelajari tentang sebab-sebab timbulnya suatu
kejahatan.

                         ii.            Geografis:
Yaitu ilmu yang mempelajari pengaruh timbal balik antara letak
suatu daerah dengan kejahatan.

                       iii.            Klimatologis:
Yaitu ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara cuaca dan kejahatan.
Penelitian-penelitian sosiologi tentang kejahatan dan pelaku kejahatan sangat memberikan manfaat secara positif bagi perkembangan kriminologi. Sebab musabab timbulnya kejahatan diteliti secara ilmiah melalui pendekatan sosiologisnya. Sebaliknya, perkembangan teori-teori di bidang kriminologi mampu memberikan ide-ide bagi penelitian-penelitian baru ataupun penelitian lanjutan di bidang sosiologi.
c.       Ilmu Psikologi
Psikologi berasal dari bahasa Yunani Kuno yaitu dari kata psyche yang berarti jiwa (ruh) dan dari kata logos yang berarti ilmu. Jadi secara etimologi psikologi sering diartikan sebagai ilmu pengetahuan tentang jiwa atau sering dikatakan dengan ilmu jiwa.[20]
Psikologi kriminal merupakan cabang ilmu psikologi terapan yang dipergunakan untuk mengidentifikasi suatu hubungan kausalitas antara kondisi karakteristik dan deternimistik jiwa pelaku tindak pidana terhadap sebab-sebab terjadinya kejahatan. Mengenai definisi dari Psikologi Kriminal itu sendiri, para sarjana memberikan pendapatnya sebagai berikut:
                                 i.            Sigmund Freud[21]
Psikologi kriminal dengan menggunakan teori psikoanalisa menghubungkan antara delinquent (kejahatan) dan perilaku kriminal dengan suatu conscience (hati nurani) yang baik dia begitu menguasai sehingga menimbulkan perasaan bersalah atau ia begitu lemah sehingga tidak dapat mengontrol dorongan-dorongan individu.
                               ii.            W.A Bonger[22]
Sehubungan dengan psikologi kriminal, memiliki definisi yang meliputi dalam arti sempit dan dalam arti luas. Dalam arti sempit meliputi pelajaran jiwa si penjahat secara perorangan. Dalam arti luas, meliputi arti sempit serta jiwa penjahat pengolongan, terlibatnya seseorang atau golongan baik langsung maupun tidak langsung serta akibat-akibatnya.
                             iii.            Lundin,R.W[23]
Theories and system of criminal psychology, yaitu melihat pada proses bawah sadar dari jiwa individu terhadap adanya probablitas individu melakukan kejahatan.
Secara umum, psikologi criminal digolongkan dalam dua jenis:
                       i.            Tipologi:
Yaitu: ilmu pengetahuan yang mempelajari golongan-golongan penjahat.
                     ii.            Psikologi Sosial Kriminal :
Yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari kejahatan dari segi ilmu jiwa sosial.

Melalui Psikologi, khususnya psikologi kriminal, kriminologi mampu menjawab berbagai pertanyaan seputar sebab-sebab pelaku kejahatan melakukan kejahatan ditinjau dari sudut kejiwaannya. Terdapat kondisi-kondisi psikologis tertentu yang melatarbelakangi seorang pelaku kejahatan hingga melakukan perbuatan yang tercela dan dilarang, namun untuk menjawabnya tentu saja perlu pendekatan ilmu yang khusus mempelajari tentang kejiwaan, dalam hal inilah psikologi membawa manfaat secara ilmiah bagi perkembangan kriminologi. Sebaliknya perkembangan-perkembangan teori kriminologi terbaru menjadi hal yang perlu diketahui seorang ahli psikologi untuk menunjang keilmuannya. Tentunya perkembangan studi seputar kriminologi juga dapat membawa manfaat positif dengan membuka ruang bagi studi-studi baru di bidang psikologi, khususnya psikologi kriminal.
d.      Ilmu Hukum
Hukum, khususnya hukum pidana merupakan sarana penanggulangan kejahatan melalui seperangkat aturan dan sanksi tegas yang membawa nestapa bagi pelaku kejahatan. Istilah “pidana” merupakan istilah yang lebih khusus, yaitu menunjukkan sanksi dalam hukum pidana.[24] Pidana adalah sebuah konsep dalam bidang hukum pidana yang masih perlu penjelasan lebih lanjut untuk dapat memahami arti dan hakekatnya. Menurut Roeslan Saleh “pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik itu”.[25]
Muladi dan Barda Nawawi[26] berpendapat bahwa unsur pengertian pidana, meliputi:
                           i.            pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan; 

                         ii.            pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang); 

                       iii.            pidana itu dikenakan pada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang. 


Kriminologi memberi manfaat yang besar bagi perkembangan teori hukum pidana, terutama dalam kaitannya dengan teori-teori pemidanaan atau teori-teori yang berhubungan dengan cara memperlakukan pelaku kejahatan. Tidak hanya itu, kriminologi juga memberikan sumbangan besar bagi perkembangan seputar teori kesalahan dalam hukum pidana.
Pengenaan pidana betapapun ringannya pada hakekatnya merupakan 
pencabutan hak-hak dasar manusia. Oleh karena itu penggunaan pidana sebagai sarana politik kriminal harus dilandasi oleh alasan-alasan yang dapat dipertanggungjawabkan secara filosofis, yuridis dan sosiologis. Untuk itu sejak zaman dahulu orang telah berusaha untuk mencari jawaban atas persoalan “mengapa dan untuk apa pidana dijatuhkan terhadap orang yang melakukan kejahatan?” Dalam rangka menjawab persoalan tersebut muncul berbagai teori tentang pemidanaan.
Perkembangan teori pemidanaan sangat dipengaruhi oleh hasil studi kriminologi. Dalam perkembangannya terjadi pergeseran yang cukup mendasar dalam teori pemidanaan, dimulai dari teori-teori pemidanaan yang memfokuskan pidana pada pembalasan dan penjatuhan nesatapa atau rasa sakit bagi pelaku kejahatan, hingga saat ini perkembangan teori pemidanaan telah berkembang dengan sangat signifikan, dimana pemidanaan tidak melulu tentang pembalasan dan penjatuhan nestapa, tetapi juga memasukkan teori-teori rehabilitasi seperti yang dikenal dalam dunia medis. Saat ini pemidanaan juga sangat mempertimbangkan unsur-unsur kemasyarakatan lain selain hanya terfokus pada pribadi pelaku kejahatan, seperti unsur pencegahan agar tidak terjadi kejahatan serupa atau lebih buruk, rehabilitasi atau pemulihan kondisi moral bagi pelaku kejahatan untuk mencegah terulangnya perbuatan serupa, dll.  Terkait dengan hal ini, Andi Hamzah mengemukakan tiga R dan satu D, yakni:[27]
Reformation, Restraint, dan Restribution, serta Deterrence. reformasi berarti memperbaiki atau merehabilitasi penjahat menjadi orang baik dan berguna bagi masyarakat. Restraint maksudnya mengasingkan pelanggar dari masyarakat, juga tersingkirnya pelanggar hukum dari masyarakat, berarti masyarakat itu akan menjadi lebih aman. Retribution ialah pembalasan terhadap pelanggar hukum karena telah melakukan kejahatan. Deterrence berarti menjera atau mencegah sehingga baik terdakwa sebagai individual, maupun orang lain yang potensial menjadi penjahat akan jera atau takut untuk melakukan kejahatan karena melihat pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa.
Tidak dipungkiri bahwa perkembangan teori ini merupakan manfaat besar yang disumbangkan kriminologi bagi hukum pidana.

MANFAAT PRAKTIS KRIMINOLOGI
Secara praktis, kriminologi memberikan manfaat yang tidak sedikit. Bagi masyarakat pada umumnya, studi-studi kriminologi tentang sebab terjadinya kejahatan dapat digunakan secara pribadi sebagai upaya pencegahan agar tidak menjadi korban kejahatan serupa. Di sisi lain, kriminologi memiliki manfaat praktis yang luar biasa bagi hukum pidana. Fungsi kriminologi yang klasik dalam masalah hukum pidana, yaitu:[28]
         i.            Dalam perumusan atau pembuatan hukum pidana ;
       ii.            Dalam penerapan hukum pidana ; dan
     iii.            Dalam pembaharuan hukum pidana, yakni dalam hal :
a)     Kriminalisasi ;
b)     Deskriminalisasi ; dan
c)      Depenalisasi.
Kriminologi (dengan penelitiannya memberikan masukan tentang perbuatan- perbuatan apa saja yang “layak” dimasukkan ke dalam hukum pidana, di samping itu tentunya para ahli hukum pidana tidak dapat bekerja sendiri untuk memasukkan perbuatan menjadi perbuatan pidana, melainkan perlu bantuan dari para ahli ilmu sosial lainnya, termasuk kriminologi, seperti yang dikemukakan oleh Mochtar Kesumaatmadja, pada Seminar Hukum Nasional ke-III di Surabaya tahun 1974:[29]
“Bahwa dalam usaha pembinaan dan pembaharuan hukum nasional, apabila perlu akan juga diikutsertakan kalangan diluar bidang hukum yang erat hubungannya dengan pembinaan dan pembaharuan hukum seperti ahli di bidang ilmu sosial lainnya serta di bidang- bidang ilmu lain yang perlu diikutsertakan apabila masalah yang ditangani menghendaki”.
Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan, upaya penegakan hukum, dan usaha perlindungan masyarakat oleh karena itu politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal (criminal policy), kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy), dan politik social (social policy).
Pembaruan hukum pidana pada hakikatnya harus merupakan perwujudan dari perubahan dan pembaharuan terhadap berbagai aspek dan kebijakan yang melatarbelakanginya itu, dengan demikian, pembaruan hukum pidana pada hakikatnya mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia. Pembaruan hukum pidana pada hakikatnya dapat dikatakan bahwa harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan ( policy oriented approach ) dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada nilai (value oriented approach).
Pembaharuan hukum pidana merupakan manfaat praktis kriminologi yang cukup signifikan mempengaruhi hukum pidana. Dalam hal ini, terdapat tiga bentuk proses pembaharuan hukum pidana, yaitu kriminalisasi, dekriminalisasi, dan depenalisasi.
a.       Kriminalisasi
kriminalisasi adalah suatu proses di mana suatu perbuatan yang mulanya tidak dianggap sebagai kejahatan, kemudian dengan dikeluarkannya perundang-undangan yang melarang perbuatan tersebut, maka perbuatan itu kemudian menjadi perbuatan jahat.
Contoh di Inggris, perbuatan bergelandangan (vagrancy) semula dianggap bukan kejahatan, tetapi dengan dikeluarkannya perundang- undangan yang melarang perbuatan tesebut maka bergelandangan kemudian dianggap sebagai kejahatan.
Di Indonesia, meminum minuman keras, berjudi, perbudakan, pemakaian ganja dalam masakan bukan kejahatan dalam masyarakat tradisional, beberapa puluh tahun lalu, sekarang menjadi perbuatan kriminal dengan dikeluarkannya perundang-undangan yang melarang perbuatan tersebut.
Dengan dibuatnya perundang-undangan baru, antara lain U.U. No. 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, U.U No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak, U.U. No. 21/2007 tentang Perdagangan Orang, perbuatan yang dulunya bukan dianggap kejahatan sekarang menjadi perbuatan kriminal karena perbuatan tersebut telah dilarang dan diancam pidana.
b.      Dekriminalisasi
dekriminalisasi adalah suatu proses di mana suatu perbuatan yang merupakan kejahatan karena dilarang dalam perundang-undangan pidana, kemudian pasal yang menyangkut perbuatan itu dicabut dari perundang-undangan dan dengan demikian perbuatan itu bukan lagi kejahatan. Contoh di Inggris, homoseksual merupakan kejahatan tetapi dengan adanya laporan Wolfendom Report, suatu lembaga yang meneliti nilai-nilai yang masih hidup di masyarakat Inggris yang menyatakan homoseksual bukan lagi dianggap sebagai kejahatan sehingga perbuatan homoseksual ditarik dari perundang-undangan pidana Inggris.
Demikian pula halnya dinegara-negara Skandinavia, Abortus Provocatus Criminalis yang dulunya dianggap kejahatan sekarang bukan lagi kejahatan.
Di Indonesia, proses dekriminalisasi “terselubung” terjadi, bukan karena pasal yang menyangkut perbuatan itu ditarik, tetapi karena ancaman pidana yang ada dalam pasal tersebut menjadi impoten (tidak diterapkan lagi). Yang dimaksudkan di sini adalah pasal 283 KUHP, dalam kerangka program keluarga berencana (saja).
Pasal 283 (1):
“diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan ....................memperlihatkan tulisan, gambar atau benda ................., maupun alat untuk mencegah atau menggugurkan kehamilan .....................”
Dalam kenyataan perbuatan memperlihatkan alat untuk mencegah kehamilan sering dilakukan oleh petugas BKKBN namun mereka tidak lagi dipidana.
c.       Depenalisasi
Pada proses depenalisasi, sanksi negatif yang bersifat pidana dihilangkan dari suatu perilaku yang diancam pidana. Dalam hal ini hanya kualifikasi pidana yang dihilangkan, sedangkan sifat melawan atau melanggar hukum masih tetap dipertahankan. Mengenai hal itu, penanganan sifat melawan atau melanggar hukum diserahkan pada sistem lain, misalnya sistem Hukum Perdata, sistem Hukum Administrasi dan seterusnya.
Di dalam proses depenalisasi timbul suatu kesadaran, bahwa pemidanaan sebenarnya merupakan ultimum remidium. Oleh karena itu terhadap perilaku tertentu yang masih dianggap melawan atau melanggar hukum dikenakan sanksi-sanksi negatif nonpidana yang apabila tidak efektif akan diakhiri dengan sanksi pidana sebagai senjata terakhir dalam keadaan darurat. Hal ini berarti bahwa Hukum pidana dan sistemnya merupakan suatu hukum darurat (=noodrecht) yang seyogyanya diterapkan pada instansi terakhir.















DAFTAR PUSTAKA

Abdulsyani. 1987. Sosiologi Kriminalitas. Bandung: Remadja Karya.
Abintoro Prakoso. 2013. Kriminologi dan Hukum Pidana. Yogyakarta: Laksbang Grafika.
Andi Hamzah. 1994. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rinneka Cipta.
Dr. Bimo Walgito. 2002. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi Offset.
Chainur Arrasjid. 1988. Pengantar Psikologi Kriminal. Medan: Yani Corporation.
Collinson Diane. diterjemahkan oleh Ilzamudin Ma’mur dan Mufti Ali,  Lima Puluh Filsuf Dunia yang Menggerakkan
Haviland, William A. 1999. Antopologi. Jilid 1. Alih Bahasa: R.G. Soekadijo. Jakarta: Erlangga
Indah Sri Utari. 2012. Aliran dan Teori Dalam Kriminologi. Yogyakarta: Thafa Media.
Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi. Jilid 1. Jakarta: Univesitas Indonesia Press.
Mardjono Reksodiputro. 2009. Menyelaraskan Pembaruan Hukum. Jakarta: Komisi Hukum Nasional RI.
M. Hamdan. 1997. Politik Hukum Pidana. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Matt Jarvis. 2009. Personality Theorie. Bandung: Nusa Media.
Moeljatno. 1986. Kriminologi. Cet Kedua. Jakarta: Bina Aksara.
Pioneers in Criminology, Journal of Criminal Law and Criminology of Northwestern University School of Law Scholarly Commons. Vol.46.
Roeslan Saleh. 1983. Stelsel Pidana Indonesia. Jakarta: Aksara Baru.
Romli Atmasasmita. 1982. Strategi Pembinaan Pelanggar Hukum Dalam Konteks Penegakan Hukum Di Indonesia. Bandung: Alumni.
Spencer, Metta dan Inkeles Alex. 1982. Foundations of Modern Sociology. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall, Inc.
Soekanto, Soerjono. 1986. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Penerbit CV.Rajawali Press.
Teguh Prasetyo. 2011. Kriminalisasi dalam Hukum Pidana. Bandung: Nusa Media.
Topo Santoso & Eva Achjani Zulfa. 2004. Kriminologi. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.






[1] Topo Santoso & Eva Achjani Zulfa. 2004. Kriminologi. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. Hlm. 13.
[2] Ibid. hlm. 4
[3] Mardjono Reksodiputro. 2009. Menyelaraskan Pembaruan Hukum. Jakarta: Komisi Hukum Nasional RI. Hlm. 94.
[4] Scottish Juridical Review Vol. Lxiii, No. 1. dalam Pioneers in Criminology, Journal of Criminal Law and Criminology of Northwestern University School of Law Scholarly Commons. Vol.46.
[5] Topo Santoso & Eva Achjani Zulfa. 2004. Op.cit. hlm. 9
[6] Mardjono Reksodiputro. 2009. Op.cit. hlm. 94.
[7] Abintoro Prakoso. 2013. Kriminologi dan Hukum Pidana. Yogyakarta: Laksbang Grafika. hlm. 14.
[8] Topo Santoso dan Eva Achjani. 2004. Op.cit. hlm.35.
[9] Moeljatno. 1986. Kriminologi. Cet Kedua. Jakarta: Bina Aksara. hlm.3.
[10] Indah Sri Utari. 2012. Aliran dan Teori Dalam Kriminologi. Yogyakarta: Thafa Media. Hlm. 20.
[11] Ibid.
[12] Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2004, Op.cit, hlm 9-10.
[13] Abintoro Prakoso. 2013. Op.cit. hlm.2.
[14] Haviland, William A. 1999. Antopologi. Jilid 1. Alih Bahasa: R.G. Soekadijo. Jakarta: Erlangga. Hlm. 7. Dan Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi. Jilid 1. Jakarta: Univesitas Indonesia Press. Hlm. 1-2.
[15] Haviland, William A. 1999. Ibid. Hlm. 13.
[16] Haviland, William A. 1999. Ibid. Hlm. 12.
[17] Collinson Diane. diterjemahkan oleh Ilzamudin Ma’mur dan Mufti Ali,  Lima Puluh Filsuf Dunia yang Menggerakkan, Hal 46
[18] Abdulsyani. 1987. Sosiologi Kriminalitas. Bandung: Remadja Karya. Hlm. 1. Dan Spencer, Metta dan Inkeles Alex. 1982. Foundations of Modern Sociology. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall, Inc. hlm. 4.
[19] Soekanto, Soerjono. 1986. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Penerbit CV.Rajawali Press. Hlm. 339-340.

[20] Dr. Bimo Walgito. 2002. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi Offset. hlm. 1.
[21] Topo Santoso & Eva Achjani Zulfa. 2004. Op.cit. hlm. 49.
[22] Chainur Arrasjid. 1988. Pengantar Psikologi Kriminal. Medan: Yani Corporation. hlm. 2
[23] Matt Jarvis. 2009. Personality Theorie. Bandung: Nusa Media. hlm. 13.

[24] Romli Atmasasmita. 1982. Strategi Pembinaan Pelanggar Hukum Dalam Konteks Penegakan Hukum Di Indonesia. Bandung: Alumni. hal. 23.

[25] Roeslan Saleh. 1983. Stelsel Pidana Indonesia. Jakarta: Aksara Baru. hlm. 9.

[26] Ibid. hlm.4.
[27] Andi Hamzah. 1994. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rinneka Cipta. Hlm. 28.

[28] M. Hamdan. 1997. Politik Hukum Pidana. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. hal. 17-18.
[29] Teguh Prasetyo. 2011. Kriminalisasi dalam Hukum Pidana. Bandung: Nusa Media. Hlm. 32.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Urgensi Pancasila Sebagai Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia

Pancasila dan NKRI Urgensi Pancasila Sebagai Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia [1] Oleh:   Mareti Waruwu [2] A.      Pendahuluan Pancasila mesti diterima dengan akal sehat sebagai warisan berharga bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila memiliki dimensi multi fungsi, sebagai sumber ideologi, sebagai pemersatu, sebagai rujukan hukum, dasar negara, dan lain sebagainya. Suatu keberuntungan sejarah, sebab negeri ini dikaruniai kesadaran bersama akan warisan ideologi dalam menjaga, dan mempertahankan kebersamaan sebagai sebuah bangsa berdaulat. Merajut gagasan dalam mengkonstruksikan sebuah realitas kebhinne-kaan di bumi Indonesia merupakan sebuah mahakarya. Sebab kristalisasi beragam nilai, norma dan kepercayaan, melalui sebuah intellectual exersices yang lama, mendalam dan relevan oleh Soekarno dan para pemikir bangsa, maka lahirlah Pancasila, yang didalamnya terhimpun segala unsur, baik yang bersifat transendental [3] , imanensi...

HUKUMAN BERSYARAT

Law and Justice Teori Hukuman Bersyarat Atau Hukuman Dengan Perjanjian ( Voorwaardelijke veroordeling ) Hukuman bersyarat ( voorwaardelijke veroordeling ) atau biasa disebut juga hukuman dengan perjanjian, dapat dijelaskan dalam dua fase sebagai berikut: Fase Pertama,     Terpidana dinyatakan bersalah lalu ditetapkan suatu masa percobaan .                       Pada prinsipnya orang tersebut telah dipidana, akan tetapi hukuman itu tidak usah dijalankan terlebih dahulu, maksudnya adalah untuk memberikan kesempatan kepada terpidana supaya dalam masa percobaan itu ia memperbaiki kelakuaannya dan tidak berbuat suatu peristiwa pidana lagi atau melanggar perjanjian yang diadakan oleh hakim kepadanya dengan harapan jika berhasil, maka hukuman yang telah dijatuhkan kepadanya tidak akan dijalankan untuk selama-lamanya. Fase Kedua,       Hukuman...