Langsung ke konten utama

ARTIKEL ILMIAH TENTANG KEADILAN PROSEDURAL DAN KEADILAN SUBSTANSIAL

BAB    I
PENDAHULUAN

A.                Latar Belakang Masalah
Demokrasi secara etimologi dapat diartikan sebagai “demos”yang berarti  rakyat  dan “kratos”  yang berarti  kekuasaan atau kekuatan[1]. Selanjutnya telah banyak pendefinisian yang telah dilakukan oleh para ahli dengan cara dan pandangan mereka masing-masing. Namun secara umum pengertian  yang sering dipakai tentang demokrasi adalah sebagaimana yang dirumuskan oleh presiden Amerika Serikat ke-16, Abraham Lincoln yang mendefinisikannya sebagai  sistem pemerintahan yang  diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.[2]
Pengertian yang hampir bersamaan dapat ditemukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yang mengartikan demokrasi sebagai:“Bentuk dan sistem pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya, gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara.”[3]
Dengan demikian jika pemerintahan suatu negara dijalankan secara demokrasi, maka rakyatlah yang bertindak sebagai penentu dalam menentukan arah dan tujuan negara yang bersangkutan.Dengan kata lain  negara yang menganut sitem demokrasi dalam menjalankan pemerintahannya adalah negara yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, bukan ditangan rezim yang berkuasa dan bukan juga ditangan negara sebagaimana yang dimaksud oleh Thomas Hobes.[4] Sehingga negara demokrasi sering juga disebut sebagai negara yang berkedaulatan rakyat.
Indonesia yang secara defacto berdiri pada tanggal 17 Agustus 1945, telah pula memilih demokrasi sebagai suatu sistem dalam menjalankan pemerintahannya.Eksistensi kedemokrasiannya tersebut dinyatakan secara tegas dalam  suatu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya ditulis “UUD NRI 1945”) yaitu di dalam Pasal 1 Ayat (2) UUD NRI 1945, yang berbunyi: “Kedaulatanberada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”[5]
Menurut Moh. Mahfud MD, ada dua alasan dipilihnya demokrasi sebagai sistem pemerintahan Indonesia. Pertama, hampir semua negara di dunia ini telah menggunakan demokrasi sebagai asas yang fundamental.Kedua, demokrasi sebagai asas kenegaraan secara esensial telah memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyelenggarakan negara sebagai organisasi tertingginya.[6]
Arah sebagaimana yang dimaksud Mahfud MD, sekaligus tujuan diberikannya kedaulatan rakyat tersebut  telah  pula digariskan secara jelas pada alinea ke-4 (empat) UUD NRI 1945,yang berbunyi :[7]
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu PemerintahNegaraIndonesiayang melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan keteriban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesiaitu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang terbentukdalam suatu susunan Negara Indonesia yang berkedaulatan rakyat yang berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatanyang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Kedaulatan rakyat sering diidentikan dengan pemilihan umum. Karena pemilihan umum adalah unsur dari demokrasi.[8] Kualitas suatu demokrasi akan ditentukan dari sejauh mana negara tersebut dapat menyelenggarakan pemilihan umum yang adil, bebas,jujur, dan rahasia. Oleh sebab itu, pemilihan umum yang memenuhi prinsip-prinsip demokrasi hanyalah pemilihan umum yang diselenggarakan secara adil, jujur, bebas, dan rahasia tersebut serta yang memberikan kesempatan kepada setiap orang dewasa untuk ambil bagian dengan masing masing satu suara.[9]Dengan cara seperti itu, pemilihan umum akan berfungsi sebagai landasan demokrasi dan merupakan tindakanpembaharuan dan peneguhan kembali demokrasi dari waktu ke waktu.[10]
Oleh karena itu, terwujud atautidaknya tujuankedaulatan rakyat sebagaimana yang dimaksud dalam alinia ke-4 dari Pembukaan UUD NRI 1945 tersebut akan tergantung sejauh mana penyelenggaraan pemilihan umum bisa berlangsung bebas, adil, jujur dan rahasia.
Dalam kaitannya dengan pemilihan umum ini, UUD NRI 1945 sebagai sumber hukum tertinggi telah menetapkan aturan dasar yang menentukan tentang bagaimana dan seperti apa penyelengaraan pemilihan umum tersebut. Salah satunya adalah bentuk pemilihan  umum untuk memilih para kepala daerah baik tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten dan kota. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 18 Ayat (4) yang berbunyi: “Gubernur, Bupati, dan Wali Kota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis.”[11]
Sebagai upaya tindak lanjut dalam mewujudkan pemilihan kepala daerah yang demokratis sebagaimana dimaksudmaka diperlukan aturan teknis dalam bentuk undang-undang guna mengatur agar tatalaksana pemilihan Gubernur, Bupati,dan Walikota dapat berjalan secara demokratis sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar tersebut.Berbagai peraturan dan perundang-undangan telah diterbitkan. Yang terbaru adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (selanjutnya ditulis “UU Pilkada”).
Namun kemudian undang-undang ini telah memicu kontroversi dan menjadi bahan diskusi bahkan perdebatan yang tidak kunjung selesai ditengah masyarakat Indonesia. Hal itu menyangkut ketentuan yang ditetapkan dalam Pasal 158 UU Pilkada yang telah membatasi hak masyarakat pencari keadilan yang mengajukan permohonan pembatalanpenetapanhasil penghitungan suara kepada Mahkamah Konstitusi (MK), Lembaga Yudikatif yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU).
Secara ringkasPasal 158 UU Pilkada tersebut menyatakan bahwa, peserta pemilihan gubernur dan wakil gubernur dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara dengan ketentuan apabila selisih suara antara peserta pilkada tidak melebihi 2% (dua persen) untuk provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa. Untuk daerah provinsi yang penduduknya lebih dari 2.000.000 (dua juta) jiwa sampai dengan 6.000.000 (enam juta) jiwa, pengajuan perselisihan dilakukan apabila selisih suara tidak lebih dari 1,5% (satu koma lima persen). Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 6.000.000 (enam juta) jiwa sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa batas selisih suaranyaadalah 1% (satu persen), sedangkan provinsi yang jumlah penduduknya lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dapat dilakukan apabila selisih suara tidak melebihi 0,5% (nol koma lima) dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi.
Setali dengan Pasal 158 UU Pilkada tersebut, Mahkamah Konstitusi (MK) yang sejatinya berwenang untuk melakukan peninjauan (review) atas suatu undang-undang telah pula mengeluarkan ketentuan dalam bentuk Peraturan Mahkmah Konstitusi (PMK) Nomor5 Tahun 2015 yang ada intinya mengikuti apa yang ditetapkan dalam Pasal 158 UU Pilkada.[12]
Kritik bahkan kecamanpun telah banyak yang terlontar atas undang-undang yang dianggap tidak berpihak kepada keadilan tersebut. Jimly Asshiddiqie yang pernah menjabat sebagai ketua MK pada periode 2003-2008 misalnya, juga angkat bicara denganmengatakanbahwa pembatasan dua persen itu tidak sehat dan tidak baik, pasalnya hal tersebut dapat menghambat demokrasi.[13]
Sungguhpun demikian,Lembaga Legislatif sebagai pembuat undang-undang dan Mahkamah Konstitusi sebagai pelaksana, tentu saja memiliki alasan tersendiri atas ketentuan yang telah dibuat sehingga diperlukan pemikiran yang mendalam disertai dengan kearifan dan kebijkasanaan untuk melihat apakah ketentuan pembatasan jumlah selisih suara sebagaimana yang dimaksud sudah tepat dan sudah pada tempatnya diterapkan dalam kehidupan berdemokrasi di Negara Republik Indonesia.
B.                Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakangmasalah yang telah penulis paparkan diatas, kiranyaperlu untuk mempertanyakan sekaligus sebagai suatu hal yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu:“Bagaimanakah pembatasan selisih perolehan suara dalam permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suaradilihat dalamdiskursus antara demokrasi prosedural dan demokrasi substansial ?
C.                Tujuan Penulisan
1.             Untuk memenuhi syarat calon peserta Kompetisi Peradilan Semu Konstitusi Tingkat Nasional Piala Ketua Mahkamah Konstitusi Tahuun 2016 Kerjasama Antara Mahkamah Konstitusi dengan Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara.
2.             Sebagai bahan  diskusi dan kajian tentang perkembangan hukum di Indonesia.


BAB II
PEMBAHASAN

Demokrasi mimiliki dua komponen dasar, yakni subtantif dan prosedural. Komponen pertama adalah landasan normatif yang bermuatan seperangkat nilai-nilai dasar bagi suatu tatanan (sistem)kehidupan politik dan ketatanegaraan yang keberadaannya mutlak diperlukan serta membedakannya dengan sistem yang lain. Komponen yang kedua adalah seperangkat tata cara yang digunakan agar sistem tersebut dapat bekerja secara optimal dalam suatu konteks masyarakat tertentu. Jika komponen yang pertama pada hakekatnya bersifat universal dan permanen, maka komponen yang kedua bersifat kontekstual dan sifatnya terus-menerus mengalami perkembangan serta terbuka (open-ended).[14]
Landasan utama demokrasi ialah mencakup norma-norma persamaan dan kebebasan yang dalam perkembanganmodern, dikukuhkan kedalam Hak Asasi Manusia universal. Khususnya hak-hak dasar yang berkaitan dengan hak berbicara, menyatakan pendapat, berserikat dan berkumpul, serta kedaulatan rakyat adalah norma paling dasar. Sementara itu, prosedural demokrasi antara lain adalah sistem perwakilan, pola-pola pemilihan dan rotasi yang berkala atas mereka yang diberi amanat/mandat oleh rakyat, adanya pemisahan atas cabang pemerintahan dan lain sebagainya.[15]Jadi, pada dasarnya demokrasi prosedural merupakan suatu aturan yang diterapkan guna mengawal berjalannya nilai-nilai demokrasi substansial secara efektif yang disesuikan dengan situasi objektif negara tersebut.
Kemudian dalam  kaitannya dengan pemberlakuan Pasal 158 UU Pilkada yang membatasi selisih perolehan suara dalam permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara. Menurut hemat penulis, hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari situasi politik dan ketatanegaraan di Republik Indonesia, pasalnya pada pilkada serentak  tahun 2015 lalu, ada sebanyak 269 daerah yang terdiri dari 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 36 kota.[16]Sedangkan, MK merupakan lembaga peradilan satu-satunya yang memiliki kompetensi untuk memeriksa dan mengadili perselisihan hasil penetapan perolehan suara tersebut. Menurut Mahfud MD, Pasal 158 UU Pilkada adalah suatu upaya yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang guna mengantisipasi membanjirnya gugatan dari pihak yang kalah.[17]Pada pilkada lalu, MK hanya menerima 25 kasus yang pokok perkaranya akan diperiksa dari total sebanyak 147 kasus yang masuk ke MK.[18]
Sesuai dengan amanat Pasal 157 Ayat (8), bahwa MK wajib memutus perselisihan pilkada dalam waktu paling lama 45 hari. Dengan ketentuan tersebut, apabila MK menerima seluruh pengajuan permohonan pembatalan hasil penetapan kepala daerah yang sebanyak 147 permohonan tersebut artinya MK tentuakan sangat mengalami kesulitan dalam memeriksa dan memutut perkara tersebut. Selain itu, tugas pokok MK sebagai pengawal tegaknya nilai-nilai konstitusi yang dalam hal ini menguji undang-undangterhadap UUD NRI 1945 akan terabaikan karena harus menyelesaikan tugas berlimpah yang diberikan oleh Pasal 157 Ayat (4) tersebut.
Dalam sidang pendahuluan yang dilaksananakan pada hari Kamis, 7 Januari 2016 lalu misalnya, MK secara keseluruhan menyidangkan perkara perselisihan pilkada sebanyak 53 perkara. Pada hari Jumat, 8 Januari 2016,MK menangani 45 perkara. Kemudian terakhir pada hari Senin, 11 Januari 2016,MK memeriksa sebanyak 49 perkara.[19]Seandainya tidak ada batasan selisih suara sebanyak sebagaimana yang dimaksud UU Pilkada, makasemua perkara yang masuk harus diperiksa dan diputus oleh MK dalam agenda sidang berikutnya. Jika demikian adanya, tentu saja kualitas keputusan yang diambil akan sangat diragukan. Sebab secara logika, kualitas putusan tersebut akan  berbanding terbalik dengan kuantitas kasus yang disidangkan. Semakin banyak kuantitas tentu  kualitas akan semakin sedikit, begitu juga sebaliknya. Tegasnya,  MK tentu saja akan bekerja terburu-buru dengan mementingkan kuantitas putusan tanpa harus memikirkan kualitasnya. Dengan demikian, tentu semua ituakan menimbulkan konsekwensi yang lebih buruk dalam demokrasi Indonesia.
Oleh karena itu, jika dipandang dari sisi sebagaimana yang penulis paparkan di atas, kiranya alasan pembuat undang-undang untuk melakukan pembatasan selisih perolehan suara sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 158 UU Pilkada dapat dipahami sebagai prosedural yang solutif guna mencegah kemungkinan terjadinya hal yang lebih buruk dari yang diharapkan. Dengan kata lain, alasan yang diambil dalam merumuskan pembatasan tersebuttelah memenuhi unsur keadilan secara prosedural.
Brangkat dari hal itu, pembatasan yang dimaksud tentu saja menimbulkan konsekwensi sebaliknya bagi  masyarakat pencari keadilan yang merasa haknya telah dirampas dan dirugikan dalam pemilihan umum. Oleh karena haknya telah dirampas, maka tidak dapat memperjuangkannya secara maksimal. Hal tersebut  tentu sangat beralasan, mengingat tingkat kedewasaan dari para peserta pemilihan umum di Indonesia masih sangat kurang. Sehingga, potensi pelanggaran yang menyebabkan perbedaan selisih suara diatas, ambang batas yang ditentukan  oleh undang-undang tersebut sangat mungkin terjadi.Apalagi dalam kenyataannya,bahwa jumlah pemohon yang selisih perbedaan suaranya,melebihi dari ambang batas, lebih banyak dibanding dengan jumlah pemohon yang perbedaan selisih suaranya berada dalam ambang batas yang telah ditentukanyakni 147 berbanding 25.Dengan demikian, potensi pelanggaran yang dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif pun berpotensilebih besar terjadi.Oleh karenanya, jika persidangantetap dipaksakan, maka pemilihan umum yang merupakan landasan utama untuk menentukan baik dan/atau buruknya kualitas suatu demokrasi hanya akan berfungsi sebagai alat justifikasi belaka. Jika demikian, adanya pemilihan umum akan sulit mendapatkan pemimpin berkualitas yang  diharapkanakan dapat menjalankan amanah sebagaimana yang ditegaskan dalam alinia ke-4,Pembukaan UUD 1945. Dengan kata lain, pembatasan jumlah selisih suara sebagai syarat untuk mengajukan permohonan pembatalan hasil penghitungan suara ke Mahkamah Konstitusi jelas tidak memenuhi unsur keadilan secara substansi.
Dari kedua cara pandang yang telah diuraikan di atas, terlihat bahwa apa yang dilakukan oleh pembuat undang-undang dengan melakukan pembatasan untuk mengajukan permohonan pembatalan penghitungan suara kepada MK, dapat dipahami sebagai suatu prosedural yang solutif dan tepat untuk mengatasi ketidakmampuan sarana yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi, sehingga keputusan yang diambil akan mempunyai kualitas yang lebih baik.
Namun sebaliknya, pembatasan tersebut ternyata tidak menjangkau substansi keadilan itu sendiri. Sebab menurut Ermawan dan Masdar, secara substansial, demokrasi hanya bisa tegak kalau ada suatu nilai-nilai ataubudaya yang memungkinkan rakyat bisa memiliki kedaulatan dalam arti yang sesungguhnya.[20]Begitu juga halnya denganMurod yang mengatakan, bahwa untuk mencapai demokrasi yang ideal maka harus adapembeberan kebenaran. Disini, setiap warga negara harus mempunyai peluang yang sama dalam penilaian yang logis demi mencapai hasil yang diinginkan.[21]
Dengan demikian,dalam kasus ini terlihat dengan jelas, bahwa posisi  keadilan prosedural berada dalam keadaan berbanding terbalik dengan keadilan substantif. Karena itu,diperlukan politik hukum yang solutif oleh para pembuat undang-undang dan praktisi hukum untuk mendorong agar keadilan prosedural semaksimal mungkin dapat berbanding lurus dengan keadilan substantif.
Terhadap hal itu, kiranya perlu terlebih dahulu untuk mengutip pendapat Saldi Isra, beberapa waktu lalu di Mahkamah Konstitusi ketika dipertanyakan mengenai hal ini kepadanya. Beliau mengatakan :[22]
“Aturan pembatasan selisih suara antara pemohon dan pemenang sebagai syarat pengajuan sengketa hasil pemilihan kepala daerah (Pilkada) tetap diperlukan. Cuma kedepan, perlu pembatasan yang tidak absolut. Artinya jika proses sidang pendahuluan ada dugaan kuat terjadi pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis dan masif (TSM), bisa saja diproses di sidang lanjutan”.
Pernyataan Isra terebut dapat diartikan sebagai suatu solusi atas kesulitan yang dialami dalam  upaya untuk mensejajarkan keadilan prosedural dan keadilan substansial. Artinya, dalammenemukan keadilan, hukum tidak boleh kaku. Apalagiasas pembuktian di Mahkamah Kostitusi menganut asas pembuktian bebas (vrijbewijs). Mahkamah Konstitusi bukanlah peradilan yang bertindak hanya untuk menjadi corong undan-undang (la bouche de la loi), melainkan bertugas untuk menemukan keadilan. Sebab keadilan itu merupakan roh dari hukum.[23] Keadilan tidak selalu berada di dalamundang-undang, tapi terkadang berada di luar undang-undang.[24]Karena itu, penegak hukum (hakim) harus mencari dan menemukannya untuk dipersandingkan dengan keadilan formal yang ada di dalam undang-undang. Jika keduanya sudah dapat dipersandingkan maka keadillan prosedural (keadilan yang ada dalam undang), tentu akan berbanding lurus dengan keadilansubstantif (keadilan yang berada di luar undang-undang).
Oleh sebab itu, hakim panel yang ditunjuk untuk memeriksa perkara sidang pendahuluan harus benar-benar bisa menemukan mana perkara pelanggaran pemilihan umum yang bersifat terstruktur, sistematis dan masif (TSM)sebagaimana yang dimaksud Isra.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, kiranya apa yang dikatakan Isra, hanya merupakan solusi sementara atas polemik yang timbul berkenaan dengan pembatasan selisih perolehan suara sebagimana yang dimaksud dalam Pasal 158 UU Pilkada, sebab menurut Isra lagi, polemik ini harus dicari jalan keluarnya dan dimasa datang perlu untuk dibicarakan kembali.[25]


BAB  III
PENUTUP

A.                Kesimpulam
Dari apa yang telah penulis uraikan, kiranya dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1.          Secara prosedural pembatasan yang  yang diberikan oleh Pasal 158 UU Pilkada sebagai syarat yang harus dipenuhi dalam pengajuan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara dapat dipahami sebagai suatu solusi mengingat terbatasnya kemampuan Mahkamah Konstitusi untuk menangani perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU). Keterbatasan tersebut semakin bertambah mengingat Mahkamah Konstitusi tidak hanya melayani perkara PHPU belaka, akan tetapi juga menangani perkara lainnya sebagimana tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi yang diberikan UUD NRI 1945.
2.        Namun demikian prosedur yang sudah benar tersebut belum menyentuh substasi keadilan. Sebab jika pada kenyataannya,suatu pelanggaran pemilu benar-benar telah dilkukan secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), sementara permohonan tekendala dengan pembatasan yang dibuat undang-undang, tentu saja akan menimbulkan konsekwensi yang sangat buruk bagi demokrasi atau kedaulatan rakyat. Sebab pemimpin yang terpilih adalah pemimpin yang mendapatkan kekuasaan dengan cara-cara yang tidak demokrasi. Dan tentu saja, pemimpin yang demikian akan sangat potensial menyalahgunakan kekuasaannya.
3.          Oleh karenanya penulis setuju dengan pandangan Saldi Isra yang mengatakan bahwa jika dalam sidang pendahuluan dapat dibuktikan adanya pelanggaran terstruktur, sistematis dan masif tersebut, maka aturan Pasal 158 UU Pilkada tersebut dapat diterobos, atau dikesampingkan.

B.                 Saran
Kiranya Pasal 158 UU Pilkada perlu ditinjau ulang, setidak-tidaknya melakukan perubahan dalam  bentuk adendum yang menegaskan bahwa perkara yang secara nyata terindikasi adanya kecurangan yang terstruktur, sistematis dan msif, maka dapat dilanjutkan ke sidang pleno.


DAFTAR PUSTAKA

Aburaera, Sukarno et. al, Filsafat Hukum, Teori dan Praktek, Kharisma Putra Utama, Jakarta, 2013.
A Ubaedilah dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan masyarakat Madani,ICCE UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2006.
Darmodiharjo, Darji dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008.
Meyer, Thomas, Demokrasi, Sebuah Pengantar Untuk Penerapan, Friedrich-Ebert-Stiftung, (Perwakilan Indonesia), Jakarta, 2002.
Eman Hermawan dan Umarudin Masdar, Demokrasi Untuk Pemula, KLIK, Yogyakarta, 2000.

Ma’mun Murod Al-Brebesy, Menyingkap Pemikiran Politik Gusdur Dan Amien Rais Tentang       Negara,Genta Publishing, Jakarta, 2011.

Mohamad Mahfud MD, Membangun Politik Hukum Menegakan Konstitusi, PT Raja Grafindo, Jakarta, 2011.

Mahfud MD, Dilema Hukum Pilkada, Koran Sindo, 9 Januari 2016.

Ratnapala, Suri, Jurisprudence,Cambridge University Press, Australia, 2009.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang  Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.

Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 5 Tahun 2015.








[1]Thomas Meyer, Demokrasi, Sebuah Pengantar Untuk Penerapan, Friedrich-Ebert-Stiftung, Kantor Perwakilan Indonesia, 2002, hal. 1.
[3]Ibid.
[4]Thomas Hobbes, dalam bukunya berjudul Leviathan, yang terbit pada tahun 1651, menyatakan bahwa kemauan negara adalah hukum (voluntas principis), yang kemudian diikuti dengan pernyataan yang sangat terkenal dari Louis XIV yang mendeklerasikan ‘L’etat, c’est moi’ yang berarti  “saya adalah negara”. Baca, Suri Ratnapala, dalam Jurisprudence, Cambridge University Pess, Australia, 2009, hal. 28.
[5]UUD NRI 1945, Pasal 1 Ayat (2).
[6]A.Ubaedilah dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, ICCE UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2006, hal. 130-131.
[7]UUD NRI 1945, Op.Cit, Pembukaan, alinea ke-4.
[8]Thomas Meyer, Op.Cit, hal.30.
[9]Ibid.
[10]Ibid.
[11]UUD 1945, Op.Cit, Pasal 18 Ayat (4).
[12]Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 5 Tahun 2015, Pasal 6 Ayat (3).
[14]Alfitri, Praktek Demokrasi: Relasi Negara, Modal Borjuasi Local, Dalam Jurnal PPKn dan Hukum, hal. 31.
[15]Ibid.
[17]Mahfud MD, Dilema Hukum Pilkada, Koran Sindo, 9 Januari 2016.
[18]Ibid.
[20]Emman Hermawan dan Umarudin Masdar, Demokrasi Untuk Pemula, KLIK, Yogyakarta, 2000, hal. 28-29.
[21]Ma’mun Murod Al Brebesy, Menyingkap Pemikiran Politik  Gusdur dan Amien Rais Tentang Negara, Risalah Gusti, Surabaya, 2001, hal. 20.
[23]Sukarno Aburaera, et. all, Filsafat Hukum, Teori dan Praktek, Prenamedia Group, Jakarta, 2013, hal. 178.
[24]Ibid, hal.179.
[25]Saldi Isra, Loc.Cit.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KRIMINOLOGI

PENGANTAR Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kejahatan dan penjahat ( crime and criminal ), serta tidak terlepas dari  studi tentang bagaimana reaksi masyarakat terhadap keduanya. [1] Walaupun hingga saat ini ruang lingkup dan batasan kriminologi masih menuai perbedaan pendapat di antara para ahli. Berawal dari teori Plautus dan Thomas Hobbes yang mengatakan bahwa manusia adalah serigala bagi sesama manusia ( homo homini lupus ), maka perlu dibuat serangkaian norma untuk mengatur perilaku manusia dalam bermasyarakat, hal ini dimaksudkan sebagai upaya proteksi dari serangan manusia lainnya, agar manusia dapat hidup dan memenuhi kebutuhan hidupnya secara berdampingan tanpa harus selalu saling menyakiti. Dalam hal ini, jelas bahwa tujuan dari dibentuknya norma adalah untuk ditaati. Di sisi lain, untuk menjamin dan mendukung tegaknya norma dalam masyarakat diperlukan sanksi agar manusia dapat menekan kehendak bebasnya ketika berbuat sesuatu dengan me...

Urgensi Pancasila Sebagai Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia

Pancasila dan NKRI Urgensi Pancasila Sebagai Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia [1] Oleh:   Mareti Waruwu [2] A.      Pendahuluan Pancasila mesti diterima dengan akal sehat sebagai warisan berharga bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila memiliki dimensi multi fungsi, sebagai sumber ideologi, sebagai pemersatu, sebagai rujukan hukum, dasar negara, dan lain sebagainya. Suatu keberuntungan sejarah, sebab negeri ini dikaruniai kesadaran bersama akan warisan ideologi dalam menjaga, dan mempertahankan kebersamaan sebagai sebuah bangsa berdaulat. Merajut gagasan dalam mengkonstruksikan sebuah realitas kebhinne-kaan di bumi Indonesia merupakan sebuah mahakarya. Sebab kristalisasi beragam nilai, norma dan kepercayaan, melalui sebuah intellectual exersices yang lama, mendalam dan relevan oleh Soekarno dan para pemikir bangsa, maka lahirlah Pancasila, yang didalamnya terhimpun segala unsur, baik yang bersifat transendental [3] , imanensi...

HUKUMAN BERSYARAT

Law and Justice Teori Hukuman Bersyarat Atau Hukuman Dengan Perjanjian ( Voorwaardelijke veroordeling ) Hukuman bersyarat ( voorwaardelijke veroordeling ) atau biasa disebut juga hukuman dengan perjanjian, dapat dijelaskan dalam dua fase sebagai berikut: Fase Pertama,     Terpidana dinyatakan bersalah lalu ditetapkan suatu masa percobaan .                       Pada prinsipnya orang tersebut telah dipidana, akan tetapi hukuman itu tidak usah dijalankan terlebih dahulu, maksudnya adalah untuk memberikan kesempatan kepada terpidana supaya dalam masa percobaan itu ia memperbaiki kelakuaannya dan tidak berbuat suatu peristiwa pidana lagi atau melanggar perjanjian yang diadakan oleh hakim kepadanya dengan harapan jika berhasil, maka hukuman yang telah dijatuhkan kepadanya tidak akan dijalankan untuk selama-lamanya. Fase Kedua,       Hukuman...