BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam dunia era globalisasi, hakekat
suatu negara akan selalu mengalami perubahan yang sangat statis mengiringi
suatu perubahan waktu tertentu. Dengan adanya perkembangan zaman tersebut tidak
bisa di pungkiri bahwa hukum, ekonomi, sosial, politik serta budaya secara
dinamis juga turut serta dalam mengikuti perkembangan itu. Pada abad ke-21 ini,
secara langsung dunia internasional menuntut setiap negara untuk mengembangkan
perekonomiannya dalam menghadapi Word
Trade Organization (WTO) dan lain-lain, melalui perdagangan bebas dunia.
Pada tahun 2005, menurut data PoliticalEconomic dan Risk Consultancy, Indonesia menempati
urutan pertama sebagai negara terkorup di Asia. Jika dilihat dalam kenyataan
sehari-hari korupsi hampir terjadi di setiap tingkatan dan aspek kehidupan
masyarakat. Mulai dari mengurus Ijin Mendirikan Bangunan, proyek pengadaan di
instansi pemerintah sampai proses penegakan hukum.[1]
Tanpa disadari, korupsi muncul dari
kebiasaan yang dianggap lumrah dan wajar oleh masyarakat umum. Seperti memberi
hadiah kepada pejabat/pegawai negeri atau keluarganya sebagai imbal jasa sebuah
pelayanan. Kebiasaan itu dipandang lumrah dilakukan sebagai bagian dari budaya
ketimuran. Kebiasaan koruptif ini lama-lama akan menjadi bibit-bibit korupsi
yang nyata.
Kebiasaan berperilaku koruptif yang
terus berlangsung dikalangan masyarakat salah satunya disebabkan masih sangat
kurangnya pemahaman mereka terhadap pengertian korupsi. Selama ini, kosa kata
korupsi sudah populer di Indonesia. Hampir semua orang pernah mendengar kata
korupsi.
Dari mulai rakyat di pedalaman,
mahasiswa, pegawai negeri, orang swasta, aparat penegak hukum sampai pejabat
negara. Namun jika ditanyakan kepada mereka apa itu korupsi, jenis perbuatan
apa saja yang bisa dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi ? Hampir
dipastikan sangat sedikit yang dapat menjawab secara benar tentang bentuk/jenis
korupsi sebagaimana dimaksud oleh Undang-Undang.
Pengertian korupsi sebenarnya telah
dimuat secara tegas di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebagian besar pengertian korupsi di dalam
Undang-undang tersebut dirujuk dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
yang lahir sebelum negara ini merdeka. Namun, sampai dengan saat ini pemahaman
masyarakat terhadap pengertian korupsi masih sangat kurang.[2]
Menjadi
lebih memahami pengertian korupsi juga bukan sesuatu hal yang lebih mudah.
Berdasarkan Undang-undang nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang nomor 20 tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Korupsi, kebiasaan berperilaku koruptif yang
selama ini dianggap sebagai hal yang wajar dan lumrah dapat dinyatakan sebagai
tindak pidana korupsi. Seperti pemberian gratifikasi (pemberian hadiah) kepada
penyelenggara negara dan berhubungan dengan jabatannya, jika tidak dilaporkan
ke KPK dapat menjadi salah satu bentuk tindak pidana korupsi.[3]
Ignatius
Wibowo, Ph.D dalam bukunya “Negara dan Bandit Demokrasi” Ketika
penguasa tunggal dijatuhkan pada Reformasi Mei 1998, orang berharap kejadian
korupsi sejenis yang dilakukan Seoharto tak akan lagi terjadi karena rakyat
akan mengawasinya.
Ternyata si pengawas sendiri terlibat korupsi.
Bagaimana ini bisa terjadi ? Bukankah setelah kita menjalankan reformasi yang
ditegakkan atas dua pilar, demokrasi dan pasar bebas, reformasi mestinya
berjalan mulus?[4]
Keganjilan ini dapat diterangkan secara
sederhana dengan mengikuti karya Mancur
Olson, Power and Prosperity
(2000). Olson juga bertanya tentang reformasi, tetapi reformasi di Rusia:
mengapa setelah rezim represif runtuh, bukan kesejahteraan yang muncul,
melainkan kelompok jaharu? The lifting of
the iron curtain revealed something else that the developed nations of the
West, whether they had been winners or losers in World War II, did not expect
to see: an extraordinary amount of offical corruption and Mafia-styles crime?
Sama seperti kita di Indonesia, reformasi di Rusia juga dijalankan dengan
memakai program demokratisasi dan pasar bebas.[5]
Berangkat dari itu, bahwa negara Rusia
dan Indonesia memakai program demokratisasi dan pasar bebas. Keberadaan
Perusahaan-perusahaan terbesar di Indonesia memiliki kekuatan yang begitu besar
untuk ikut terlibat dalam demokrasitisasi bahkan pasar bebas yang sebagian
besar dikuasai oleh mereka.
Dengan adanya program pasar bebas atau
sering dikenal dengan istilah Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas tersebut,
memungkinkan para Pejabat negara seperti Deputi Teknis Badan Pengusahaan
Kawasan Sabang (BPKS) berperan selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan
pimpinan dari berbagai perusahaan memiliki kesempatan untuk melakukan tindak
pidana korupsi dengan cara melawan hukum yaitu merugikan keuangan negara.
Untuk menyimpulkan apakah suatu
perbuatan termasuk korupsi adalah, bahwa Melawan Hukum Untuk Memperkaya Diri
Sendiri dan Dapat Merugikan Keuangan Negara Adalah Korupsi.[6]
Hal itu tidak terkecuali untuk PT.
Nindya Karya sebagai perusahaan yang bergerak di bidang konstruksi dan property
ini yang di pimpin oleh Heru Sulaksono sebagai Direktur Utama perusahaan
tersebut, telah merugikan keuangan negara sebagai perusahaan penggarap proyek
tanpa pelelangan tahun 2006.
Sementara itu, seperti yang dikemukakan
oleh Bastianon, S.H., M.H, dalam
bukunya “Pengantar Hukum Dagang”,
bahwa dunia perdagangan merupakan suatu kegiatan yang dinamis. Hal ini ditandai
oleh banyaknya perkembangan jenis kegiatan bisnis yang membutuhkan perkembangan
peraturan yang mengatur tentang kegiatan perdagangan. Perkembangan kegiatan
perdagangan akan semakin terbuka sehubungan dengan hubungan antar negara yang
ditunjang dengan kemajuan instrumen teknologi informasi serta transprotasi
dalam era globalisasi.[7]
Nah, untuk mengetahui bentuk/jenis
perbuatan yang bisa dikategorikan sebagai korupsi adalah upaya dini untuk
mencegah agar seseorang tidak melakukan korupsi.[8]
Undang-Undang mengatur, bahwa “Setiap
Orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).[9]
Jadi, makalah ini membutuhkan
pembaharuan sesuai dengan perkembangan zaman yang relatif cepat.
1.2 Tujuan
Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui
dan memahami kasus tindak pidana korupsi serta cara penyelesaiannya dan
bagaimana cara menganalisisnya sekaligus untuk melengkapi tugas mata kuliah
Hukum Dagang Semester III Fakultas Hukum Universitas Pamulang.
1.3 Identifikasi
Masalah
1. Apakah hubungan Komisi Pemberantasan Korupsi
dengan Deputi Teknis Badan Pengusahaan
Kawasan Sabang (BPKS) berperan selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan
Direktur Utama PT. Nindya Karya ?
2. Apa yang dimaksud dengan Bandit Demokrasi ?
3. Apa yang di maksud dengan Korupsi ?
BAB II
HAK DAN KEWAJIBAN DIREKSI
Sebelum kita membahas lebih jauh tentang
Hak dan Kewajiban seorang Direksi Perseroan Terbatas (PT), perlu kita ketahui
apa saja organ Perseroan Terbatas (PT) adalah sebagai berikut:
1.1
Direksi
Direksi
adalah Organ perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas
pengurusan perseroan, untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan
tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun luar pengadilan
sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.[10]
Selain
direksi ada pula Dewan Pengawas dan Pengurusan. Yang dimaksud dengan, Dewan
Pengawas adalah organ Perusahaan yang bertugas melakukan pengawasan dan
memberikan nasihat kepada Direksi dalam menjalankan kegiatan kepengurusan
Perusahaan.[11] Sedangkan yang dimaksud dengan, Pengurusan
adalah kegiatan yang dilakukan oleh Direksi dalam upaya mencapai maksud dan
tujuan perusahaan.[12]
Perseroan
harus mempunyai maksud dan tujuan serta kegiatan usaha yang tidak bertentangan
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum, dan/atau
kesusilaan.[13]
Dalam
hal menjalankan sebuah Perseroan, dipandang perlu adanya pedoman (Guidance) bagi seorang Direksi tersebut. Direksi
menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan
maksud dan tujuan Perseroan.[14]
Karena
kepentingan maksud dan tujuan umumnya bersifat abstrak dan sering kali dinamis,
maka Direksi dilengkapi dengan otoritas guna bertindak secara tepat dalam batas
kewenangan yang ditentukan dalam UU PT dan/atau Anggaran Dasar Perseroan
Terbatas.[15] Otoritas guna bertindak
secara tepat yang di miliki Direksi tersebut adalah sebagai berikut :
a.
Profesionalisme
Bertindak secara tepat mengandung maksud
adanya pemberian kewenangan yang luas (bahkan sangat luas), tetapi kepadanya
tetap dituntut sifat profesionalisme sebagai seorang yang mempunyai keahlian
mengelola perusahaan, serta sekaligus memikul tanggung jawab profesi
(profesionalliability).[16]
b.
Bussines Judgment Doctrine
Dengan sifat demikian, maka seorang Direksi jika
sudah bertindak secara profesional, maka tidak sepatutnya memikul resiko dari
perbuatan hukum yang diilakukannya secara pribadi walaupun akibat dari
perbuatan hukum tersebut merugikan Perseroan. Ajaran ini sesuai dengan Bussines Judgment Doctrine, yang sudah
lama dianuut oleh negara-negara yang masuk dalam rumpun Common Law System.[17]
1.2 Dewan
Komisaris
Dewan komisaris adalah Perseroan yang bertugas
melakukan pengawasan secara umum dan/atau sesuai dengan anggaran dasar serta
memberikan nasehat kepada Direksi.[18]
Dewan
komisaris melakukan pengawasan atas kebijakan pengurusan, jalannya pengurusan
pada umumnya, baik mengenai perseroan maupun
usaha perseroan, dan memberi nasehat kepada Direksi. Pengawasan dan
pemberian nasehat dilakukan untuk kepentingan perseroan sesuai dengan maksud
dan tujuan Perseroan. Jadi, bukan unutk kepentingan pihak atau golongan
tertentu.[19]
1.3 RUPS
(Rapat Umum Pemegang Saham)
Memiliki wewenang yang tidak diberikan kepada
Direksii dan Dewan Komisaris, dalam batas yang ditentukan oleh Undang-Undang
ini. Dalam forum RUPS, pemegang saham berhak memperoleh keterangan yang
berkaitan dengan Perseroan dari Direksi dan/atau Dewan Komisaris, sepanjang
berhubungan dengan mata acara rapat dan tidak bertentangan dengan kepentingan
Perseroan. RUPS dalam mata acara lain-lain tidak berhak mengambil keputusan,
kecuali pemegang saham hadir dan/atau diwakili dalam RUPS dan menyetujui
penambahan mata acara rapat.[20]
Kalau dalam RUPS hadir dan/atau diwakili semua pemegang saham dan semua
pemegang saham menyetujui diadakannya RUPS dengan agenda tertentu, maka RUPS
bisa diadakan.[21]
RUPS
terdiri dari RUPS Tahunan dan RUPS lainnya. RUPS Tahunan wajib diadakan dalam
jangka waktu paling lambat 6 bulan sesudah tahun buku berakhir dimana harus
diajukan semua dokumen dari laporan tahunan Perseroan. RUPS lainnya bisa
diadakan setiap waktu berdasarkan kebutuhan untuk kepentingan Perseroan.[22]
1.4 Hak
dan Kewajiban Direksi adalah :[23]
Dalam
hubungannya dengan tugas pokok Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24,
maka :
1.
Direksi berhak
untuk :
a.
menetapkan kebijakan dalam memimpin pengurusan
Perusahaan;
b.
mengatur ketentuan tentang ketenagakerjaan Perusahaan
termasuk pengangkatan, penetapan gaji, pensiun atau jaminan hari tua dan
penghasilan lain bagi para karyawan Perusahaan berdasarkan peraturan perundang-undangan
dan keputusan Menteri;
c.
mengangkat dan memberhentikan karyawan Perusahaan
berdasarkan peraturan ketenagakerjaan Perusahaan dan peraturan
perundang-undangan;
d.
mengatur penyerahan kekuasaan Direksi untuk mewakili
Perusahaan di dalam dan di luar pengadilan kepada seorang atau beberapa orang
anggota Direksi yang khusus ditunjuk untuk itu atau kepada seorang atau
beberapa orang karyawan Perusahaan baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama
atau kepada orang lain;
e.
menjalankan tindakan-tindakan lainnya, baik mengenai
pengurusan maupun mengenai pemilikan kekayaan Perusahaan, sesuai dengan
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini dan yang
ditetapkan oleh Menteri berdasarkan peraturan perundang-undangan; dan
f.
mengangkat
seorang Sekretaris Perusahaan.
2.
Direksi
berkewajiban :
- mengusahakan dan menjamin terlaksananya usaha dan kegiatan Perusahaan sesuai dengan maksud dan tujuan serta kegiatan usahanya;
- menyiapkan pada waktunya Rencana Jangka Panjang Perusahaan, Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan, termasuk rencana-rencana lainnya yang berhubungan dengan pelaksanaan usaha dan kegiatan Perusahaan serta menyampaikannya kepada Dewan Pengawas dan Menteri untuk mendapatkan pengesahan sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
- memelihara risalah rapat serta menyelenggarakan pembukuan Perusahaan sesuai dengan kelaziman yang berlaku bagi suatu perusahaan;
- menyusun sistem akuntansi sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan dan berdasarkan prinsip-prinsip pengendalian intern, terutama fungsi pengurusan, pencatatan, penyimpanan dan pengawasan;
- memberikan pertanggungjawaban dan segala keterangan tentang keadaan dan jalannya Perusahaan berupa laporan tahunan termasuk perhitungan tahunan dan laporan manajemen kepada Menteri;
- memberikan laporan berkala menurut cara dan waktu sesuai dengan ketentuan yang berlaku serta laporan lainnya setiap kali diminta oleh Menteri;
- menyiapkan susunan organisasi Perusahaan lengkap dengan perinciannya; dan
- menjalankan kewajiban-kewajiban lainnya sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini dan yang ditetapkan oleh Menteri berdasarkan peraturan perundang-undangan.[24]
Jadi, setiap Direksi Perseroan memiliki
hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku yang di
buat oleh pemerintah.
BAB
III
PEMBAHASAN
Dalam
bab pembahasan ini, kami dari tim penulis akan membahas tentang“Hubungan Komisi Pemberantasan Korupsi
dengan Deputi Teknis Badan Pengusahaan
Kawasan Sabang (BPKS) berperan selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK),Ramadhani Ismy,dan Bos PT. Nindya
Karya, Heru Sulaksono ?”
Pengertian tender singkatnya merupakan
suatu proses pengajuan yang dilakukan oleh kontraktor yang akan dilaksanakan
dilapangan sesuai dengan dokumen tender. Proses tender bertujuan menyeleksi dan
menetapkan calon kontektor yang akan mengerjakan pekerjaan.[25]
Tender dapat juga disebut sebagai proses
awal dari kegiatan konstruksi. Dimana tender merupakan suatu sistem kompetisi
untuk mengadakan atau memilih kontraktor yang akan melaksanakan pekerjaan
pembengunan, dan memilih konsultan sebagai owner di dalam proyek, dalam
mengajukan penawaran tertulis tentang besarnya biaya dan limit waktu yang
dibutuhkan.[26]
Tender erat kaitannya dengan pengadaan
barang dan jasa yang diselenggarakan pemerintah. Karena dalam peraturan
perundang-undangan, proyek bernilai tertentu harus dilakukan tender dan memilih
pihak yang mengerjakannya. Kemudian berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 80
Tahun 2003 yang direvisi dengan Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 2004 telah
mengatur pelaksanaan pengadan barang/jasa tersebut, Pemerintah harus
melaksanakan tender secara efektif dan efisien, tentunya harus mengedepankan
prinsip-prinsip persaingan sehat, transparan, terbuka, dan perlakuan yang adil
bagi semua pihak, sehingga hasilnya dapat dipertanggung jawabkan baik dari segi
fisik, keuangan maupun manfaatnya bagi semua pihak.[27]
1.1 Penjelasan
Kasus
Perseroan Terbatas (PT) atau PT. Nindya
Karya, yang di pimpin oleh Heru
Sulaksono selaku Kepala Perwakilan Aceh – Sumatera Utara dan Juga Deputi
Teknik Badan Pengusahaan Kawasan Pelabuhan dan Dermaga Bebas Sabang berperan
selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Ramadhani
Ismy telah melakukan perbuatan melakukan Hukum yakni Korupsi.
Proses lelang dalam proyek pembangunan
Dermaga Sabang pada tahun 2004 sampai dengan tahun 2011 ternyata fiktif. Di
proyek itu perusahaan yang ditunjuk langsung adalah kerjasama operasi (Joint Operation)
PT. Nindya Karya dan PT. Tuah Sejati.[28]
Hal itu sebagaimana terkuak dalam sidang
lanjutan terdakwa mantan Kepala Perwakilan Aceh-Sumatera Utara PT. Nindya
Karya, Heru Sulaksono, di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarata,
Kamis (2/10).[29]
Saksi mantan Deputi Teknik Badan
Pengusahaan Kawasan Pelabuhan dan Dermaga Bebas Sabang (BPKS), Ramadhani Ismy
yang membeberkannya. Dia bilang, Teuku Syaiful Achmad, selaku kepala BPKS dan
Sabang, Zulkarnaen Nyak Abbas, selaku pimpinan proyek Sabang saat proyek itu
berlangsung merupakan otak dibalik penunjukan langsung itu.[30]
“ Akhirnya memang yang ditunjuk menang
lelang Nindya-Sejati. Padahal lelangnya enggak ada”, ungkap Ismy yang terdakwa
di kasus ini.[31] Dia mengakui, aturan
tender tersebut memang sengaja dilanggar. Dalihnya, menjalankan perintah
atasan. Di kesaksiannya, Ismy juga ngaku diminta oleh Ahmad meneruskan proses
lelang pada paket pengerjaan proyek 2005
sampai 2011 dengan penunjukan langsung. Anehnya, HPS dipakai tetap mengacu pada
pengadaan 2004.[32]
Awalnya, kata Ismy, dia di desak Nyak
Abbas supaya mempercepat proses lelang proyek Dermaga Sabang. Alasannya, paket
pekerjaan mesti dilakukan cukup banyak, yakni perbaikan dermaga terkena dampak
Tsunami dan pembenahan fasilitas lain sebagai persiapan supaya Dermaga Sabang
menjadi kawasan bebas.[33]
“Pak Nyak Abbas sampaikan ke saya karena
paketnya banyak, enggak hanya dermaga saja. Diselesaikan pakai konsultan,
termasuk konsultan perencanaan. Saya diperintahkan mempercepat proses karen
sudah bulaan enam. Karena takut nanti enggak mencukupi”, terang dia.[34]
Ismy dalam posisi tak bisa melawan. Lalu menyiapkan berbagai dokumen lelang
proyek. Namun, Ahmad memerintahkan dia supaya proses pelelangan dilaksanakan
dengan cara penunjukkan langsung.[35]
Keanehan lainnya yakni, Ismy ternyata
tidak pernah membuat Harga Perkiraan Sendiri (HPS), dan malah mengambil HPS
diajukan oleh kerjasama operasi (JO) antara PT. Nindya Karya dan PT. Tuah
Sejati.[36]
Ismy pada suatu hari pernah didatangi
seseorang mengaku dari JO Nindya-Sejati. Pihak JO itu meminta Ismy memberikan
jadwal dan persyaratan lelang. Anehnya, Ismy justru diperintah oleh Nyak Abbas
untuk memberikan semua yang diminta oleh Perwakilan Nindya-Sejati itu.[37]
. Untuk kepentingan penyidikan
dugaan tindak pidana korupsi dalam pelaksanaan proyek pembangunan dermaga bongkar
pada Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang itu, penyidik Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) melakukan upaya hokum penahanan terhadap tersangka RI (PPK pada BPKS).
Penahanan dilakukan untuk 20 hari kedepan terhitung mulai hari ini di Rumah Tahanan
Negara Klas I Salemba, Jakarta Pusat.[38]
Sebelumnya, pada 20 Agustus
2013 KPK menetapkan RI sebagai tersangka. RI selaku Pejabat Pembuat Komitmen
(PPK) Satuan Kerja Pengembangan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang
pada BPKS, diduga telah melakukan perbuatan melawan hokum dan menyalahgunakan wewenang
untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi terkait pembangunan
dermaga bongkar di Sabang. Akibatnya, Negara di duga mengalami kerugian sekurangnya
249 miliar rupiah.[39]
Selanjutnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan penggeledahan di PT
Nindya Karya (NK) terkait kasus dugaan korupsi dalam pelaksanaan proyek pembangunan
dermaga Sabang yang dibiayai APBN Tahun Anggaran 2006–2010. "Benar ada penggeledahan
kasus Sabang di Jalan MT Haryono Kav 22," kata Kepala Bagian Pemberitaan dan
Informasi KPK, Priharsa Nugraha, Selasa (27/8).[40]
Penggeledahan dilakukan untuk menelusuri segala sesuatu yang berkaitan
dengan jejak-jejak para tersangka. Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan dua tersangka,
yakni Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Sabang (BPKS) selaku Pejabat Pembuat Komitmen
(PPK) proyek dermaga Sabang, Ramadhani Ismy (RI), dan Kepala PT NK Cabang
Sumatra Utara danNanggroe Aceh Darussalam selaku kuasa Nindya Sejati Joint
Operation, Heru Sulaksono (HS).[41]
Modus yang disangkakan kepada kedua tersangka adalah penggelembungan
anggaran atau mark up yang mengakibatkan kerugian Negara diduga sebesar 249 miliar
rupiah.[42]
Pada Selasa (20/8), KPK juga telah melakukan pencegahan keluar negeri
terhadap dua orang tersangka dan dua orang saksi, yakni Teuku Syaiful (mantan Kepala
BPKS), dan Muhammad Taufik (swasta).[43]
Atas perbuatannya, RI dan HS disangkakan melanggar Pasal 2 ayat 1
atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana jo Pasal 55 ayat 1 ke-1
KUHP. Adapun hukuman maksimal dari pasal-pasal tersebut adalah 20 tahun penjara
dan denda 1 miliar rupiah.[44]
1.1.1
Vonis
Hukuman Terhadap Bos Nindya-Sejati JO
General Manager Divisi Konstruksi dan Properti PT. Nindya
Karya Cabang Sumatera Utara dan Nangroe Aceh Darussalam, Heru Sulaksono,
divonis sembilan tahun penjara dan denda sebesar Rp. 500 Juta subsider empat
bulan kurungan. Heru dianggap terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan
pencucian uang terkait pembangunan dermaga pada kawasan pelabuhan dan
perdagangan bebas Sabang dalam kurun waktu 2006-2011.[45]
“Mengadili, menyatakan terdakwa Heru Sulaksono terbukti
secara sah dan meyakinkan melakukan secara bersama-sama tindak pidana korupsi
dan tindak pencucian uang,” ujar Hakim Ketua Casmaya di Pengadilan Tipikor,
Jakarta, senin, (22/12/2014).[46]
Putusan majelis hakim lebih ringan dari tuntutan jaksa
penuntut umum menuntutnya dengan hukuman penjara 10 tahun dan denda sebesar Rp.
600 Juta subsider subsider 6 bulan kurungan. Heru juga diminta membayar uang
pengganti sebesar Rp. 12,6 Miliar dalam
kurun waktu sebulan. Jika tidak dibayarkan dalam kurun waktu yang di tentukan,
maka harta benda Heru akan dilelang untuk menggantinya.[47]
“Apabila harta tidak cukup, dipidana selama dua tahun
penjara,” kata Hakim.[48]
Menurut hakim, hal yang memberatkan Heru adalah ia dianggap tidak mendukung
pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi. Sementara, hal yang meringankan,
ia dianggap berlaku sopan selama persidangan, mengakui perbuatannya, memiliki
tanggungan keluarga, dan belum pernah dihukum.[49]
Dalam putusan yang dibacakan hakim, tindak pidana korupsi
yang dilakukan Heru dilakukan bersama Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Sabang,
Syaiful Achmad; Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada Satuan Kerja (Satker)
Pengembangan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Sabang, Ramadhani Ismy;
Kepala Proyek (Project Manager) Pembangunan dermaga Sabang, Sabir Said;
Direktur PT. Tuah Sejati, Taufik Reza; Kuasa Pengguna Anggaran tahun 2004,
Zubir Sahim; Kuasa Pengguna Anggaran Februari-Juli 2010, Nasruddin Daud; Kuasa
Pengguna Anggaran 2011, Ruslan Abdul Gani; tenaga lepas BPKS, Ananta Sofwan;
pimpinan proyek tahun 2004, Zulkarnaen Nyak Abbas; mantan Direktur PT. Budi
Perkasa, Alam Zaldi Noor; Komisaris Utama PT. Budi Perkasa, Alam Pratomo
Santosanengtyas; mantan Dirut PT. Swarna Baja Pacific, dan Direktur CV. SAA
Inti Karya Teknik Askaris Chloe. Dalam pengerjaan proyek Pembangunan Dermaga
Bongkar Sabang tersebut, Heru menjalin kerjasama dalam Joint Operation (JO)
antara PT. Nindya Cabang Sumatera Utara dan Aceh dengan perusahaan lokal yaitu
PT. Tuah Sejati.[50]
Demi memenuhi persyaratan formal pengadaan barang dan jasa,
selaku kepala BPKS, Zubir meminta Zulkarnaen selaku pimpinan proyek
mempersiapkan administrasi proses peleangan pekerjaan konstruksi tersebut.[51]
Heru juga dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana
pencucian uang dengan mengalihkan uang yang diperolehnya dari hasil korupsi
dengan membeli sejumlah barang dan mentransfer uang kesejumlah rekening.[52]
Menurut hakim, nilai uang yang digunakan Heru dalam tindak
pidana pencucian uang sebesar Rp. 21,46 Miliar. Heru dianggap melanggar
sebagaimana dakwaan pertama primer yaitu pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Jo
Pasal 65 ayat (1) KUHP. Selain itu, Heru pun dijerat dengan pasal 3 ayat (1)
huruf b, c, dan d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP
sebagaimana dalam dakwaan ketiga. Pidana Pencucian Uang Jo Pasal 65 ayat (1)
KUHP sebagaimana dalam dakwaan ketiga.[53]
1.1. Vonis
Hukuman Terhadap Mantan Deputi Teknik Badan Pengusahaan Kawasan Sabang
(BPKS), berperan selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)
Majelis
Hakim Tindak Pidana Korupsi menjatuhkan vonis enam tahun penjara dan denda
sebesar Rp. 200 Juta subsider tiga bulan terhadap mantan Deputi Teknis Badan
Pengusahaan Kawasan Sabang (BPKS), Ramadhani Ismy. Ia dianggap terbukti
melakukan tindak pidana korupsi terkait dengan pembangunan dermaga pada kawasan
pelabuhan dan perdagangan bebas Sabang dalam kurun waktu 2006-2011.[54]
“Terbukti secara sah dan meyakinkan
melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama sebagaimana
dakwaan primer,” ujar Hakim Syaiful Arif di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin
(22/12/2014).[55]
Putusan 6 tahun penjara lebih ringan
dari tuntutan jaksa penuntut umum. Sebelumnya, Ismy dituntut hukuman 7 tahun 6
bulan penjara dan denda sebesar Rp. 200 Juta subsider 6 bulan kurungan.[56]
Hakim juga mewajibkan Ismy membayar
ganti rugi sebesar Rp. 3,2 Miliar dalam kurun waktu satu bulan. Jika tidak
dibayarkan dalam kurun waktu yang ditentukan, kata Jaksa, maka harta benda Ismy
akan dilelang untuk menggantinya.[57]
“Apabila harta tidak cukup, dipidana
selama dua tahun penjara,” kata Hakim.[58]
Adapun, hal yang memberatkan menurut hakim yaitu Ismy dianggap tidak mendukung
program pemerintah dala upaya pemberantasan korupsi. Sementara, hal yang
meringankan yaitu Ismy dianggap berlaku sopan selama persidangan, mengakui
perbuatannya, dan belum pernah di hukum. Setelah putusan dibacakan, Ismy
langsung menyatakan tidak akan mengajukan banding. Ia menerima putusan yang
dijatuhkan hakim.[59]
Sementara, Jaksa penuntut umum masih
meminta waktu untuk mempertimbangkan apakah akan mengajukan banding atau tidak.
Ismy dianggap terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Jo Pasal 65 ayat
(1) KUHP.[60]
Menurut Hakim, perbuatan korupsi oleh
Ismy dilakukan bersam-sama dengan sejumlah orang, diantaranya mantan kepala
BPKS, Teuku Syaiful Ahmad dan kepala PT. Nindya Karya Cabang Sumatera Utara dan
Nangroe Aceh Darussalam, Heru Sulaksono. Sebelum pelaksanaan lelang proyek,
sudah ada kesepakatan denga pihak PT. Nindya Karya agar perusahaan tersebut
menjadi pelaksana proyek pembangunan Dermaga Sabang.[61]
Dalam proyek pembangunan Dermaga Bongkar
Sabang tahun 2006, Ismy sebagai Pejabat Pembuat Komitmen membuat telaahan staf
yang menyatakan pelelangan dapat dilakukan dengan cara penunjukan langsung. Ia
beralasan pekerjaan tahun 2006 merupakan suatu kesatuan konstruksi bangunan
dengan pekerjaan tahun 2004. Untuk itu, Heru selaku Kepala PT. Nindya Karya
cabang Sumatera Utara dan Nangroe Aceh darussalam, melakukan kerjasama
operasional (Joint Operation) antara PT. Nindya Karya Cabang Sumatera Utara dan
Nangroe Aceh Darussalam dan perusahaan lokal, yakni PT. Tuah Sejati yang
kemudian dinamakan Nindya Sejati JO.[62]
Pada pelaksanaannya, PT. Nindya Karya
tidak melakukan pekerjaan sesuai dengan kontrak perjanjian. Hakim menyatakan, ada
mark up atau penggelembungan nilai kontrak dengan Nindya Karya. Dengan
demikian, terdapat selisih antara uang yang dibayarkan BPKS kepada PT. Nindya
Karya dengan biaya yang dikeluarkan untuk pengerjaan proyek.[63]
Pada tahun 2005, pengerjaan proyek
pembangunan dermaga ini sempat dihentikan karena bencana Tsunami yang melanda
Aceh pada tahun 2004. Pada tahun 2006, BPKS melakukan Review Master Plan dan Business
Planperdagangan bebas dan pelabuhan bebas Sabang lalu diputuskan untuk
melanjutkan kembali pembangunan dermaga bongkar Sabang pada tahun berikutnya.[64]
BPKS melanjutkan pembangunan dermaga
dengan skala yang lebih besar menjadi Dermaga Pelabuhan Internasional pada
tahun anggaran 2007. Pembangunan dilakukan hingga tahun 2011 dan selama itu
terjadi kongkalingkong pihak BPKS dengan
PT. Nindya Karya.[65]
BAB
IV
ANALISIS
KASUS
1.1 Analisis Yuridis Kasus Bos PT. Nindya Karya, Heru
Sulaksono dan Pejabat Pembuat Komitmen
(PPK), Ramadhani Ismy, Dengan UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001,
KUHP dan UU No. 8 Tahun 2010
Analisis ini berdasarkan perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh Heru, yakni melanggar Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Jo Pasal 65 ayat
(1) KUHP. Selain itu, Heru pun dijerat dengan pasal 3 ayat (1) huruf b, c, dan
d Undang-UndangNomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP sebagaimana dalam dakwaan
ketiga. Pidana Pencucian Uang Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP sebagaimana dalam
dakwaan ketiga.[66]
Sesuai dengan putusan yang ditetapkan (incraach) di Pengadilan Tipikor, Jakarta (22/12/2014), yakni
divonis Sembilan tahun penjara dan denda Rp. 500 Juta subsider enam bulan
kurungan,[67]
berikut ini kami dari tim penulis akan menganalisis pasal demi pasal sebagaimana
putusan yang dijatuhkan oleh hakim terhadap terdakwa :
1.
Pasal
2 ayat (1) Jo Pasal 18 UU Tipikor, berbunyi :
Pasal
2 ayat (1)[68]
:
(1) Setiap Orang yang secara melawan
hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatui
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama
20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 18 UU Tipikor [69]:
(1) Selain pidana tambahan dimaksud dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana sebagai pidana tambahan adalah :
a. Perampasan
barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud barang tidak bergerak
yang digunakan untuk yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan
milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pun harga dari barang
yang menggantikan barang tersebut;
b. Pembayaran
uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya dengan harta benda yang
diperoleh dari tindak pidana korupsi;
c. Penutupan
usaha atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun;
d. Pencabutan
seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan atau sebagian keuntungan
tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana;
(2) Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana
imaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat
disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
(3) Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda
yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat 1
(satu) huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi
ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang
ini dan karenanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.
2. Pasal
55 ayat (1) ke-1 Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP, berbunyi :
Pasal
55 ayat (1) ke-1 KUHP :
(1)
Dipidana sebagai
pembuat delik[70]:
1.
mereka yang
melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan;
Pasal
65 ayat (1) KUHP :
(1)
Dalam hal
gabungan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri
sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, yang diancam pidana pokok yang
sejenis, maka dijatuhkan hanya satu pidana.[71]
3. Pasal 3 UU No. 8 Tahun 2010 tentang
TPPU, berbunyi :
Setiap
Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan,
menghibahkan, menitipkan, membawa keluar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan
mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta
Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah).[72]
BAB V
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas
dalam masyarakat. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik
dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari
segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya
yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat.
Meningkatnya tindak pidana korupsi yang
tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan
perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada
umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan
pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena
itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan
biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitu pun dalam
upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut
cara-cara yang luar biasa.
Penegakan hukum untuk memberantas tindak
pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami
berbagai hambatan. Untuk itu diperlukan metode penegakan hukum secara luar
biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas,
independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak
pidana korupsi, yang pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif,
efektif, profesional serta berkesinambungan.
Dalam rangka mewujudkan
supremasi hukum, Pemerintah Indonesia telah meletakkan landasan kebijakan yang
kuat dalam usaha memerangi tindak pidana korupsi salah satunya UU No. 31 Tahun 1999
sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 dan UU No. 8 Tahun 2010.
B. Saran
Segala perkara dan permasalahan itu harus
di percayakan epenuhnya kepada proses hukum. Setiap orang yang melakukan kesalahan
seharusnya sadar akan kesalahannya, jangan rakus dengan jabatan, jangan juga rakus
dengan uang.
Pikirkan rakyat
miskin, berikan hak-hak mereka, masih banyak warga Negara yang masih belum mendapatkan
makanan dan minuman selayaknya.
Dengan adanya tugas mata kuliah seperti
ini, besar harapan kami dari tim penulis semoga dapat membangun kecerdasan dan pola
piker kita bersama terutama dalam penegakan hukum di Indonesia.
Beri dukungan buat mereka yang
menegakkan keadilan demi masa depan generasi bangsa, sebab hokum adalah pedang untuk
memberantas mereka tikus-tikus yang masih berjalan dalam kegelapan.
DaftarPustaka
Komisi
Pemberantasan Korupsi, Memahami Untuk
Membasmi (Buku Saku Untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi), (Jakarta:
Penyusun KPK, 2006).
Ignatius
Wibowo, Negara dan Bandit Demokrasi,
(Jakarta: Penerbit Buku Kompas, Februari, 2011).
Bastianon,
S.H., M.H, Pengantar Hukum Dagang,
Fakultas Hukum Universitas Pamulang, (Pamulang: FH UNPAM Press, 20 Mei 2014).
Undang
-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas.
Peraturan
Pemerintah Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perusahaan
Umum.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
DR.
Andi Hamzah, S.H., KUHP & KUHAP,
(Jakarta : PT RINEKA CIPTA, 2006).
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang.
[1]Komisi Pemberantasan Korupsi,
Memahami Untuk Membasmi (Buku Saku Untuk Memahami Tindak Pidana
Korupsi),(Jakarta: Penyusun KPK, 2006), hal. 1
[2]Ibid.
[3]Ibid.
[4]Ignatius Wibowo, Negara dan
Bandit Demokrasi, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, Februari, 2011), hlm. 77
[5]Lihat I. Wibowo, hlm. 78, Ibid.
[6]Komisi Pemberantasan Korupsi,
Memahami Untuk Membasmi (Buku Saku Untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi),
(Jakarta: Penyusun KPK, 2006), hlm. 25
[7]Bastianon, S.H., M.H, Pengantar
Hukum Dagang, Fakultas Hukum Universitas Pamulang, (Pamulang: FH UNPAM Press,
20 Mei 2014), hlm.1.
[8]Komisi Pemberantasan Korupsi,
Memahami Untuk Membasmi, (Buku Saku Untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi),
(Jakarta: Penyusun KPK, 2006), hlm. 2.
[9]Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun
1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001, tentang Tindak
Pidana Korupsi.
[10]Undang -Undang Nomor 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas.
[11] Pasal 1 angka 5, Peraturan Pemerintah Nomor
40 Tahun 2007 tentang Perusahaan Umum.
[12] Pasal 1 angka 6, Peraturan Pemerintah
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perusahaan
Umum.
[13] Pasal 2, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas.
[14] Pasal 92 ayat (1), Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
[15] Lihat Bastianon, S.H., M.H., Ibid, hlm. 76.
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18] Ibid.
[19] Ibid.
[20] Ibid.
[21] Ibid.
[22] Ibid.
[23]Paragraf
3, Pasal 32, Peraturan Pemerintah Nomor
40 Tahun 2007 tentang Perusahaan Umum.
[24] Paragraf 3, Pasal 32 ayat (1) – ayat (2),
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perusahaan Umum
[25]http://www.rmol.co/read/2014/10/02/174376/Terungkap,-Nindya-Karya-Tangani-Proyek-Sabang-Lewat-Lelang-Fiktif.
[26] Ibid.
[27] Ibid.
[29] Ibid.
[30] Ibid.
[31] Ibid.
[32] Ibid.
[33] Ibid.
[34] Ibid.
[35] Ibid.
[36] Ibid.
[37] Ibid.
[39]
Ibid.
[41]Ibid.
[42]Ibid.
[43] Ibid.
[44] Ibid.
[46] Ibid.
[47] Ibid.
[48] Ibid.
[49] Ibid.
[50] Ibid.
[51] Ibid.
[52] Ibid.
[53] Ibid.
[55] Ibid.
[56] Ibid.
[57] Ibid.
[58] Ibid.
[59] Ibid.
[60] Ibid.
[61] Ibid.
[62] Ibid.
[63] Ibid.
[64] Ibid.
[65] Ibid.
[67] Ibid.
[68] Pasal 2 ayat (1), Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi
[69] Pasal 18, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantsan
Tindak Pidana Korupsi.
[70] DR. Andi Hamzah, S.H., KUHP & KUHAP,
Pasal 55 ayat (1) KUHP, (Jakarta : PT RINEKA CIPTA, 2006), hlm. 26.
[71]
DR. Andi Hamzah, S.H., KUHP & KUHAP, Pasal 65 ayat (1) KUHP, (Jakarta : PT
RINEKA CIPTA, 2006),
hlm. 30.
[72]Pasal 3, Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2010 tentang Pencegehan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Komentar